Pages Categories

10 April 2011

Psikoanalisa, Sexual Addiction Disorder, Metafora dan Dinamika Hubungan Antar Tokoh Dalam Film “Love At The Time Of Cholera” (PART2/3)



Kajian Teoritis

Perkembangan Manusia Dalam Psikoanalisis
Sigmund Freud
Setiap manusia memiliki sejarah pembentukan diri masing-masing hingga akhirnya tiap individu menjadi diri utuh, otonom, terpisah dari yang lain, dan merasakan perbedaan antara aku dan bukan aku. Manusia biasanya hanya mengingat sampai moment ketika  pertama kali merasakan bahwa “aku” ternyata berbeda dengan sesuatu “disekelilingku” (benda-benda dan manusia). Pada fase inilah seorang manusia mulai memahat konsep tentang siapa dirinya.  Kesadaran sebagai makhluk  yang otonom mengandaikan kehilangan, kesendirian, ketragisan dan selanjutnya kondisi ini menuntut kestabilan. Kestabilan merupakan konsekuensi atas keberadaan dalam kesendirian.
Tetapi apakah konsep “diri” merupakan sesuatu yang mantap, stabil dan utuh? Ataukah ia sesungguhnya  berada dalam ketidakpastian, selalu goyah, dan tidak pernah stabil? Pencarian tentang diri manusia sudah dimulai sejak  manusia ada. Descrates mengungkapkan bahwa manusia adalah subyek yang berfikir. Ketidaktetapan akan diakhiri dengan menegaskan bahwa “aku” adalah sesuatu yang mantap dan utuh. Namun darimana asalnya manusia menyebut dirinya sebagai sesuatu yang utuh, yang menandai berdirinya Humanisme? Premis dasar humanisme mengandaikan adanya konstruksi diri yang diangap stabil, seperti memiliki kehendak bebas dan berada diluar determinan-determinan eksternal. (http://www.e-psikologi.com)
Psikoanalisis Freud menjawab kegelisahan ini melalui konsep tiga dasar diri yaitu Id, Ego, dan Superego. Frued berkeyakinan bahwa jiwa manusia mempunyai struktur. Struktur jiwa tersebut meliputi tiga instansi atau sistem yang berbeda. Masing-masing sistem tersebut memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri. Keharmonisan dan keselarasan kerja sama di antara ketiganya sangat menentukan kesehatan jiwa seseorang.  Adagium Freud berbunyi Wo Es war, Soll Ich Werden (dimana ada Id disitu berpatroli Ego). Freud ingin menjawab kenyatan, melalui investigasinya, anak yang suka membangkang pada akhirnya justru menjadi orang dewasa yang beradab dan produktif. Adagium itu ingin menegaskan bahwa ketaksadaran ditentukan, dikontrol, distabilkan oleh kesadaran. (www.e-psikologi.com)

Jacques Lacan          
Bagi Jacques Lacan yang dikenal sebagai anomali psikoanalisis menggoreskan tesis terbalik atas Freud. “Ketaksadaran lah yang membentuk kesadaran”. Lacan mengatakan bahwa ego atau”Aku” (sesuatu yang dirujuk sebagai ‘diri’) hanyalah ilusi dari hasrat itu sendiri. Hasrat merupakan kodrat manusia yang selalu berada dalam kekurangan. Tetapi moment ketragisan yaitu saat kehilangan sesuatu“yang dicintai” (lepasnya bayi dari sang ibu) muncul maka sebentuk ego mesti dibentuk. Ego terbentuk melalui hasrat untuk memiliki identitas sehingga ego terbentuk oleh hasrat untuk memiliki identitas. Tetapi sekali lagi lacan mengatakan ego yang dirajut tersebut pada dasarnya adalah sesuatu yang imajiner, kesalahpengenalan yang tak mungkin ditawar.  
Lacan mengatakan bahwa ketaksadaran sepenuhnya adalah sadar akan bahasa, dan secara khusus ia terdiri dari struktur bahasa. Bertolak dari hasrat yang senantisa bergolak, Lacan kemudian memodifikasi prinsip Saussure. Bagi Lacan, tidak ada petanda yang pada akhirnya dirujuk penanda.  Semua bergelincir, bergeser, dan bersirkulasi. Suatu penanda hanya menggring kepada penanda lainya dan tidak pernah kepada petanda. Seperti halnya kata dalam sebuah kamus yang menggring kepada kata-kata lainya dan tidak pernah kepada sesuatu yang direpresentasikan oleh kata tersebut.
Namun Lacan masih menyimpan ambiguitas. Disatu sisi ia mengatakan bahwa tidak ada sebuah dasar atau dalam istilah Derrida tidak ada pusat karena keterpisahan dengan ”yang dicintai” mengandaikan kehilangan akan rasa penyatuan dan setelah itu semua hanya ilusi imajener. Di sisi lain ia masih membayangkan sebuah pusat dari tatanan simbolik yang disebutnya dengan phallus. Berbeda dengan Freud dan Suassure, masing-masing mengandaikan adanya pusat dan jaminan akan kestabilan tertentu. Freud beripjak pada Ego. Sementara Suassure meneguhkan hubungan antara penanda dan petanda yang menjamin adanya makna. Lacan sendiri mengandaikan adanya pusat:
  1. Sesuatu berupa dimensi Yang Real, suatu yang hilang setelah moment keterlepasan yang menimbulkan hasarat untuk “menjadi”.
  2. Phallus, pusat tatanan simbolik. Keduanya dihasrati oleh individu tetapi tidak akan pernah sampai.

Lacan kemudian menandai tiga tahap perkembangan individu yaitu need (kebutuhan), demand (permintaan) dan desire (hasrat). Ketiga tahap tersebut saling bertumpang tindih, antara satu tahap dengan tahap yang lain dan tidak dipisah oleh suatu batas yang menandai perubahanya. Pada tahap permintaan seseorang masih menyimpan kebutuhan-kebutuhan akan obyek-oyek yang dapat memenuhinya. Namun berbeda dengan tahap sebelumnya, pada tahap permintaan yang dinginkan bukan obyek pemuas kebutuhan melainkan liyan yang diposisikan sebagai sarana pembentuk identitas. Ketiga kebutuhan itu berkaitan erat dengan tiga gugus utama lainya yaitu Yang Real, Imajiner, dan Simbolik.

·         Yang Real
Menjelaskan konsep yang real, Lacan tidak dapat tidak musti memulainya dengan mengilustrasiikan kehidupan manusiasia paling awal didunia yaitu pada saat masih bayi. Seperti Freud, Lacan mengatakan bahwa bayi tidak mengenal konsep tentang diri dan liyan.
“Dia tidak bisa membedakan antara dirinya dengan benda dan apapun diluar dirinya  bahkan ibu atau angota tubuhnya sendiri. Ia  didorong oleh kebutuhan akan makan dan rasa nyaman. Ia memperoleh payudara ketika butuh makan dan mendapat pelukan untuk memenuhi kehangatan dan rasa nyaman yang dibutuhkan. Ini adalah keadaan alami yang hrus dipecahkan agar ia bias masuk kedalam anggota sebuah kebudayan. Dan kondisi ini, adalah gambaran situasi di dunia real. Dunia real dipahami sebagai sebuah kondisi dimana tidak ada kehilangan dan ketiadaan, tidak ada kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi. Karena itu didalamnya tidak ada bahasa. Yang Real adalah suatu alam yang tak pernah dapat digambarkan karena sejak manusia dilempar kedunia dan merasakan ide tentang “diri” dan “liyan” kondisi ini tidak pernah dapat direngkuhnya kembali”.

·         Imajiner
Dunia real tidak berlangsung lama. Keterpisahan dengan ibu memunculkan rasa kehilangan dan ketiadaan. Ini adalah pengalaman tragis yang menyakitkan bagi bayi. Momen kehilangan ini merupakan titik awal dimana bayi memiliki kesadaran ‘diri’ dan ‘liyan’, antara dia sebagai oknum utuh yang berdiri sendiri dan liyan yang juga adalah oknum lain yang mandiri. Kehilangan melahirkan kecemasan. Situasi ini menodorong bayi meminta kembali apa yang dulu pernah didapatkanya. Tetapi ia tidak akan dapat memprolehnya kembali. Inilah yang memaksanya  melihat dirinya sebagai satu individu lain yang utuh dan berbeda. Lacan menjelaskan tentang fase cermin yang penting dimana bayi melihat pada pantulan cermin bahwa dia adalah kesatuan tersendiri yang berbeda sekaligus sama dengan orang lain.
“Citra diri dalam cermin yang dilihatnya, ia akui sebagai identitas dirinya yang disebut “Aku”. Bayi tidak dapat menyebut diri yang terpantul di cermin sebagai ”Aku” tanpa keterlibatan orang lain. Artinya bayi tidak tahu bahwa citra cermin itu disebut ”Aku”. Orang lain berperan memberitahukan kepadanya bahwa itu adalah “Aku”nya. Saat bayi menyebut citraan itu sebagai” Aku” saat itulah ia  masuk ke dalam struktur tatanan simbolik yang memliki aturan-aturan yang harus dipatuhinya seumur hidup”.
           
Tetapi citra dalam cermin yang disebutnya “Aku” bukanlah dirinya yang sesungguhnya melainkan struktur imajiner yang mau tidak mau diakuinya sebagi identitas dirinya. Alasanya sangat sederhana, karena individu membutuhkan organisasi diri yang mapan sebagai modal menempuh kehidupan dan membedakan dirinya dengan orang lain. Lacan menyebutkan bahwa citra dicermin itu adalah liyan.
Yang juga termasuk liyan, menurut Lacan, adalah ide tentang diri kita atau, dalam kasus bayi, ide tentang diri bayi itu sendiri. Dengan demikian maka bayi mengenal dirinya melalui liyan yang adalah citra yang muncul pada cermin. Factor penting yang mendorong bayi mau tidak mau mengakui citraan imajiner itu sebagi dirinya adalah hasarat untk memiliki identitas. Itulah sebanya Lacan tidak melihat identitas sebagai ”Identity” yaitu sesuatu yang mapan, utuh, dan tidak retak. Tetapi ia menyebutnya “I-dentity”, aku dan identitas. Inilah yang disebut dengan tahap permintaan akan identitas yang iamjiner.

·         Symbolic   
Menurut Lacan, Hasrat tidak dapat dipenuhi dan tidak terbatas hanya pada obyek-obyek yang dapat memenuhi kebutuhanya, hasrat akan kasih sayang atau hasrat untuk memperoleh pengakuan dari orang lain. Tetapi hasrat juga menginginkan untuk menjadi pusat dari tatanan simbolik atau pusat dari sistem yaitu Phalus. Kehilangan dari yang real atau ibu yang bersifat maternal mendorong individu berhasrat mencapai pusat pengatur tatanan simbolik. Pusat itu adalah phallus yang menstrukturasi individu dalam jeratan aturan simbol-simbol bahasa hingga menjadi nom-du-pere adalaah obsesi setiap individu.
“Ketundukan pada aturan-aturan bahasa itu-Hukum Sang Ayah- diperlukan untuk memasuki tatanan symbolic. Untuk menjadi subyek yang berbicara, manusia harus tunduk dan mematuhi hukum dan aturan bahasa sebagai modal untuk menjadi anggota suatu peradaban. Tidak dapat dibayangkan bagaimana nasib seseorang ketika ia tidak dapat tunduk pada aturan bahasa atau Hukum-Sang-Ayah, ia mungkin akan terkucil dari dunia.
Pengenalan bayi akan dirinya pada perkembangan selanjutnya semakin diperluas. Pertama-tama ia mengenal diri-ku, kemudian secara sosial seturut perkembangan individu ia mengidentikasi lingkungan sekitarnya. Ia mulai mengenal kelompoku, sukuku, etnisku, budaya-ku, agamaku, negaraku, bangsaku. Kebutuhan akan rasa aman dan nyaman social dipenuhi oleh identifikasi dirinya dengan struktur social yang lebih luas.  Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor kesamaan antara dirinya dan lingkungan sosialnya. Masuknya individu kedalam sebuah kelompok pertama-tama diinterpelasi oleh hukum dan aturan bahasa yang harus dipatuhinya untuk memenuhi hasrat menjadi pusat tatanan symbolic.

·         Hasrat
Bagi Lacan hal pertama yang harus dipahami ketika memahami hasrat adalah hasrat terhadap Liyan. Liyan selalu menopang kekurang yang tiada akhir. ‘liyan’ muncul pertama kali di fase imajiner. ‘liyan’ adalah bukan ‘aku’ tetapi sekaligus (diaku sebagai) ‘aku’. ‘liyan’ menutupi lubang yang ditinggalkan oleh keterpisahan dengan Yang Real. Sedangkan Liyan (dengan L besar) adalah phallus atau pusat tatanan simbolik. Ia merupakan tempat dimana semua orang ingin menuju. Manusia, bagi Lacan, berada diantara perasaan kehilangan dan ke-taksampai-an. Dari situlah hasrat muncul. Ada tiga hal yang harus diingat ketika memahami apa yang dimaksud sebagai hasrat oleh Lacan:
  1. Pertama, hasrat dapat berbentuk hasrat untuk menjadi atau hasrat untuk memiliki. Hasrat menjadi memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan idetifikasi, sedangkan hasrat untuk memiliki mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain.
  2. Kedua, karena hasrat terutama adalah hasrat terhdap liyan, secara khusus liyan bisa menjadi subyek sekaligus obyek hasrat. Menghasrati sekaligus dihasrati.
  3. Ketiga, ‘Liyan’ mengambil bentuk dalam citra orang lain pada tatanan imajiner, kode yang membentuk tatanan simbolik, atau subtansi khusus pada Yang Real.  Lacan membagi hasrat dalam empat bentuk:
·         Narsistik pasif. Seseorang berhasrat menjadi obyek cinta (Liyan) orang/sesuatu lain  (hasrat dikagumi, idealisasi orang lain, atau rekognisi orang lain)
·         Narsistik aktif. Seseorang berhasrat menjadi orang lain. Identifikasi diri pada orang lain (Liyan) adalah cinta atau devosi pada sesuatu yang lain.
·         Anaklitik aktif. Hasrat memiliki orang/sesuatu (Liyan) sebagai cara mendapat kepuasan
·         Anaklitik pasif. Hasrat ingin dimiliki Liyan (orang lain atau sesuatu yang lain) sebagai sumber kepuasan liyan.


Hasrat Untukmenjadi
Hasrat untuk menjadi bekerja dalam bentuk identifikasi. Identifikasi bekerja pada tiga tataran; Simbolik, Imajiner, dan Yang Real. Tatanan Simbolik berada dalam dan melalui system penanda atau Master Signifier. Manifestasi tatanan Imajiner menampak pada bentuk-bentuk citra-an. Sedangkan modus Yang Real memperoleh pengaruhnya pada fantasi.  Identifikasi adalah suatu cara dimana subyek diinterpelasi dan subyektifitas mereka diubah oleh diskursus. Modus kerja identifikasi tampak misalnya ketika orang-orang membaca kisah tertentu atau menonton sebuah film. Peran utama yang dimainkan seorang tokoh dalam kisah, film, atau relitas nyata adalah menginterpelasi subyek  agar mengidentifikasi diri mereka dengan tokoh tersebut. Saat subyek terhubung dengan obyek rasa kagum mereka maka ia harus merepresi semua hasrat yang tidak sejalan dengan ciri, keinginan-keinginan, karakter, dan  segala kualitas yang dikandung obyek tersebut. Identifikasi selalu memberi motivasi pada keinginan untuk menjadi (want-of-being).
Dari paparan ini seolah-olah tampak bahwa hasrat merupakan daya dorong munculnya identifikasi. Dengan kata lain identifikasi adalah akibat dari hasrat. Akan tetapi Lacan menjelaskan bahwa identifikasi juga dapat menjadi sebab dari hasrat. Jadi, hasrat untuk menjadi obyek rasa kagum dipicu juga oleh kerja-kerja modus identifikasi.

“Aku” adalah Penanda Utama
Hal ini berkaitan erat dengan daya interpelasi dan strukturasi Master Signifier tatanan simbolik. Lacan menyebut penanda utama ini sebagai penanda pembawa identitas. Identifikasi subyek pada otoritas penanda utama membangkitkan hasrat menjadi obyek “yang diinginkan” penanda utama tersebut. Relasi penandaan yang bekerja pada otoritas tatanan simbolik penanda utama adalah hubungan Paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda yang lain. Tanda yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Kata “perempuan” mempunyai hubungan paradigmatik dengan misalnya “cantik”, “lemah-lembut”, dan”feminin”. Interpelasi subyek oleh penanda utama membangkitkan hasrat mengidentifikasi diri dengan tanda satu kelas atau satu sistem dalam struktur paradigmatik penanda utama. Hubungan paradigmatik selanjutnya membawa pada asosiasi mental yang disebut dengan hubungan metaforik. Hubungan metaforik muncul karena dengan adanya kekuatan represi suatu penanda diganti dengan penanda baru. Penanda pertama akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti menempati kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju posisi dan mengidentifikas ciri, karakter, status, dan imaji yang terhubung dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya. Metafor bekerja atas dasar hubungan paradigmatik dan menggunakan tanda tingkat pertama yang sudah mapan atau yang dianggap menghadirkan nilai.
Tetapi relasi pemaknaan dalam kedua model diatas (paradigmatik/metaphor) tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba. Dengan kata lain tidak ada hubungan signifikansi antar penanda tanpa adanya daya penggerak yang berasal dari alam tak sadar. Menurut Lacan hubungan metaforik muncul dan menjadi lebih kuat ketika terkait dengan hubungan signifier yang masih berada dalam status unconsious. Struktur tak sadar yang sesungguhnya mempengaruhi kesadaran berbahasa disebut Lacan sebagai condensation. Kondensasi merupakan istilah yang digunakan Freud untuk menjelaskan kondisi psikologis tertentu. Tetapi konsep ini bagi Lacan adalah pemampatan atau penumpukan bahasa di alam tak sadar yang kelak akan memunculkan hubungan pemaknaan pada level methapor. Makna yang dihadirkan oleh methaphor tidak dicari dalam relasi pergantian tanda oleh tanda lain. Artinya, penanda pengganti tidak dapat menghadirkan makna dari dalam dirinya sendiri. Jika Sausure mengatakan bahwa makna muncul karena adanya hubungan antara penanda dan petanda, bagi Lacan  makna tidak dapat dicari dari relasi semacam ini. Kondensasi di alam tak sadarlah yang akhirnya menghadirkan signifikansi baik pada level paradigmatik maupun mataphor.                

Aku” dan Citra-an
Tatanan imajiner adalah tahap dimana diri mulai dibentuk. Pembentukan awal ini menjadi dasar yang mengkonstitusi bahwa pada akhirnya semua yang diserap adalah citra. Kaitanya dengan tatanan simbolik, citra menyiapkan pondasi kukuh di atas mana tatanan simbolik bekerja dalam diri seseorang. Citra tidak menjadi citra tanpa strukturasi dunia simbolik didalamnya. Citra atau pesona yang dikirim oleh pribadi liyan menyerap subyek kearahnya sampai pada tingkat subyek mencintai, mengagumi, pendeknya subyek menghasrati liyan. Citra kemudian disebut dimensi eksternal atau cermin yang menginterpelasi subyek. Selanjutnya, cara ini tidak dapat bekerja secara sempurna tanpa dorongan yang menghasarati untuk dikagumi oleh liyan.
Dihasrati-menghasrati atau menghasrati-dihasrati, keduanya bekerja secara simultan dan berbarengan. Namun dorongan itu tidak hanya terhenti pada obyek-subyek. Artinya, hasrat subyek tidak kemudian selesai pada liyan itu sendiri. Subyek pun tak puas hanya ketika ia jadi obyek (kekaguman, idola, cinta, dsb). Dalam hal ini keduanya sama-sama bergerak menuju hasrat masing-masing. Menghasrati atau upaya memenuhinya tak mungkin tanpa melalui hasrat liyan. Itulah sebabnya Lacan mengatakan bahwa hasrat terutama adalah hasrat pada liyan.  Jika relasi penandaan yang bekerja pada level tatanan simbolik adalah relasi paradigmatik, dalam dunia citra pada tatanan imajiner ini hubungan sintagmatik berperan dan melengkapi kesadaran subyek. Hubungan sintagmatik dimengerti sebagai  hubungan tanda dengan tanda-tanda lainya. Dalam hubungan sintagmatik orang diajak untuk mengimajinasi ke depan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab akibat.
Kesadaran sintagmatik bertujuan untuk menciptakan stuktur dengan jalan mengkombinasikan unsur yang ada. Oleh karena itu identifikasi individu pada liyan tidak cukup hanya melalui hubungan penandaan yang bersifat paradigmatik saja melainkan harus disertai juga oleh hubungan sitagmatik. Sehingga, identifikasi simbolik melalui penanda utama berjalan seiring dan bekerja bersama dengan identifikasi imajiner melalui citra. Mengasosiasikan (pardigmatik) sekaligus mengkombinasikan (sintagmatik). Asosiasi yang mucul dari penanda utama “laki-laki” (kuat, jantan, maskulin, macho) akan terasa janggal dan tertahan ketika tidak meyertakan kombinasi yang sempurna. Misalnya, dalam kalimat “Jari-jari lentik lelaki itu bergerak lemah gemulai”. Kalau pada relasi paradigamatik menggunakan metaphor, relasi sintagmatik lebih dekat kepada metonimi. Metonimi muncul sejauh ada satu signifier  utama yang menyatukan seluruh hubungan signifier yang maih terapung dalam ketidakpastian menjadi satu keutuhan.
Hanya setelah berada dibabwah “komando” signifier utama makna yang berada dialam tak sadar naik ke tingkat kesadaran. Adgium lacan mengatakan bahwa ketaksadaran terstruktur seperti bahasa. Dengan kata lain kesadaran berbahasa dikendalikan oleh struktur bahasa di alam ketaksadaran. Relasi penandaan pada bentuk sintagmatik tidak muncul dari hubungan antara tanda dengan tanda-tanda lain dalam dirinya sendiri. Melainkan, ia dipengaruhi apa yang oleh Freud disebut dengan displacement. Metonimi terkait dengan cara penanda-penanda terhubung dengan penanda lain membentuk rantai penandaan yang memberikan jalur tempat bekerjanya identifikasi dan hasrat.

“Aku” dan Fantasi
Fantasi berada pada lavel Yang Real. Ia menyebutnya obyek a. sebuah obyek yang berharga atau bahan yang terkait dengan yang real. Dorongan ini tersusun dari yang real dari tubuh seorang subyek melalu rantai penanda tidak sadar yang dibentuk oleh tuntutan liyan yang berlangsung simbolik. Hal ini terjadi misalnya ketika kita mengidentifikasikan diri dengan penanda-penanda utama (laki-laki, perempuan, muslim, dsb) demi strukturasi dan interpelasi penanda tersebut dan demi kenyaman eksisitensial kita membedah diri kita dan mematikan bagian-bagianya. Bersamaan dengan itu munculah larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak penanda simbolik. Meskipun demikian, kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam berbagai bentuk. Modus-modus hasrat yang direpresi ini tertanam dalam diri subyek membentuk fantasi yang memberikan hasrat terhadap rasa suka cita.
Pada analisis Lacan selanjutnya, dalam proses terapi psikoanalisis obyek a atau fantasi menjadi faktor penting dalam upaya membalik tatanan simbolik menuju ego ideal dan perubahan tata simbolik baru. Pasien atau yang dianalisis diajak untuk membuat pemisahan antara dirinya dengan kehendak penanda utama yang tak mampu diadaptasinya, kemudian ia akan melihat kembali apa yang tersisa oleh represi tatanan simbolik. Dan selanjutnya, ia melihat fantasinya atau obyek a yang tertanam dan bersembunyi didalam yang real.

III.2. Sexual Addiction Disorder
Kecanduan seksual merujuk pada sebuah fenomena saat individu tidak mampu mengelola perilaku seksual mereka. Hal ini juga disebut "ketergantungan seksual," dan "Sexual compulsivity". Para seksologi percaya bahwa sexual addiction merupakan suatu penyakit atau kelainan dan bukan merupakan produk dari budaya dan pengaruh-pengaruh lain. Belum ada kesepakatan apapun dalam mendefinisikan kecanduan seksual Beberapa ahli percaya bahwa kecanduan seksual sama dengan kecanduan alkohol atau obat-obatan. Pakar-pakar lain percaya bahwa kecanduan seksual sebenarnya adalah bentuk obsesif kompulsif dan menyebutnya sebagai compulsivity seksual.
Namun ahli lainnya percaya bahwa kecanduan seksual justru merupakan sebuah produk budaya dan berasal dari pengaruh luar. Irons dan Schneider mencatat bahwa kelainan kecanduan seksual bukan merupakan DSM-IV (disorder) seperti dalam hal ketergantungan zat adiktif. Lowinson mengungkapkan kecanduan seksual merupakan suatu kondisi di mana beberapa bentuk perilaku seksual memiliki sebuah pola yang dicirikan setidaknya oleh dua fitur kunci, yaitu selalu gagal dalam mengontrol perilaku dan melanjutkan perilaku meskipun ada konsekuensinya.
Pecandu sering menampilkan ciri narsistik. Menurut buku Sinopsis of Psychiatry, pecandu seks tidak mampu mengendalikan dorongan seksual, yang dapat melibatkan seluruh spektrum fantasi seksual atau perilaku. Akhirnya, kebutuhan untuk aktivitas seksual meningkat, dan perilaku seseorang semata-mata didorong oleh keinginan terus-menerus mengalami hubungan seks dan biasanya mengungkap sejarah lama pola perilaku seperti itu, orang yang berulang kali telah mencoba untuk berhenti, namun tidak berhasil.  
Sexual addiction merupakan masalah yang terus tumbuh dalam masyarakat saat ini. secara umum, kelainan seksual dibagi dalam banyak tingkat dan bentuk. hal ini dikenal sebagai DSM-IV atau dikenal jugfa sebagai Paraphilia, yang memiliki banyak bentuk penyimpangan seksual (Wedding, 2005:94-103):


  1. Fetishims
  2. Transvetic fetishism
  3. Pedopilia
  4. Exhibitionism
  5. Voyeurism
  6. Sexual masochism
  7. Sexual sadism
  8. Frotteurism
  9. Telephone scatalogia
III.3. “Love” dalam Perspektif Psikologi dan Sosial
Robert Sternberg mencoba menjabarkan cinta dalam konteks hubungan antara dua orang. Psikologi menggambarkan cinta sebagai sebuah fenomena kognitif dan sosial. Menurut Sternberg, cinta adalah sebuah kisah yang merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan, dsb. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orang tua, pengalaman, cerita, dsb. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan. Sternberg terkenal dengan teorinya tentang “Segitiga Cinta”. Segitiga cinta itu mengandung komponen : Keintiman (Intimacy),Gairah (Passion) dan Komitmen.
Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust), dan keinginan untuk membina hubungan. Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu. Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama. Menurut Sternberg, setiap komponen itu pada tiap-tiap orang berbeda derajatnya. Ada yang hanya tinggi di gairah, tapi rendah pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah apabila ketiga komitmen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar (dalam beberapa budaya) harus disertai dengan komitmen yang lebih besar, misalnya melalui perkawinan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada hubungan cinta seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri mulai dari masa kanak-kanak. Bagaimana orang tuanya saling mengekspresikan perasaan cinta mereka. Hubungan awal dengan teman-teman dekat, kisah-kisah romantis sampai yang horor, dsb. akan membekas dan mempengaruhi seseorang dalam berhubungan. Perkembangan lebih jauh adalah teori elektrik (misalnya dalam Hukum Coulomb) yang menunjukkan bahwa partikel positif dan negatif saling menarik, yang kemudian dianalogikan dalam perkembangan kehidupan manusia, seperti "ketertarikan berlawanan" (opposites attract).

Tidak ada komentar: