saya : Sibuk Chat. Mba Ade : serius dan fokus :))
Kajian Budaya Postmodernisme
Kajian Arsitektur Urban
Pemahaman Terhadap Postmodernisme
Masyarakat postmodernitas ditandai dengan adanya superfisialitas
dan kedangkalan, kepura-puraan, kelesuan emosi, hilangnya historisitas yang
didasari oleh sistem kapitalis multinasional. Beragam konsep yang kemudian
muncul dalam dunia Post modern salah satunya sangat berkaitan erat dengan dunia
kultural atau budaya dimana produk post-modern cenderung menggantikan berbagai
produk modern.
Produk tersebut dapat dilihat dalam dunia seni. Jameson
(1984) mempertentangkan lukisan Andy Warhol di era post-modern yang menampilkan
sosok Marilyn Monroe yang hampir tanpa emosi dengan lukisan Munch yang modern
yaitu the scream. The
scream merupakan lukisan sureal
yang menunjukan kedalaman keputus asaan atau aliensi. Lukisan ini dianggap
dangkal dan tindak menggambarkan emosi yang sesuangguhnya. Begitu pula dalam
lukisan “kaleng sup Campbell”
karya Andy Warhol lainnya. Dalam produk TV, program father known best merupakan bentuk tayangan modern sedangkan twin peaks dianggap sebagai bentuk
tayangan yang Post-modern. Begitu juga dalam film, hingga dunia arsitektur.
Produk post-modern dianggap suatu re-enchantment terhadap kekecewaan pandangan modernitas dunia.
Kekecewaan terhadap dunia dan alat konsumsi kemudian mendorong terjadinya re-enchanment untuk kontrol ketertarikan
dan eksploitasi konsumen. Kata kuncinya terletak pada “penampilan” atau
“tontonan”. Aplikasi dalam dunia arsitektur dapat dilihat dari sosok fisik
sebuah bangunan yang berada di perkotaan. Bangunan post-modern ini cenderung
lebih menarik untuk “ditonton” dan menjadi simbol tertentu untuk pemaknaan
sebuah kultur, terutama pada masyarakat perkotaan.
Arsitektur Post-modern
masyarakat perkotaan Jakarta
Jakarta, salah satu kota
yang mengalami perkembangan pesat dalam mengadopsi nilai budaya post-modern. Hal
ini teraplikasi dalam berbagai bentuk arsitektur bangunan yang tersebar di kota Jakarta.
Beberapa diantaranya adalah Wisma BNI 46 dan Entertaintment X’nter (eX) Mall,
yang keduanya dibangun dengan konsep post-modern yang cukup kuat.
Wisma BNI 46 merupakan salah satu bangunan tertinggi di Indonesia dan
berada di posisi 123 tertinggi di dunia. Berdiri pusat bisnis di jalan Sudirman
dan menjadi icon kota Jakarta dan icon postmodern karena
penampilannya. Desain bangunan ini sangat berbeda dengan banguan lainnya yang
terlihat lebih “boxy” dengan kaca dan
baja yang menjadi ciri bentuk arsitektur modern. Hal yang cukup membedakan
bangunan ini dengan gedung lainnya adalah penggunaan warna yang lebih variatif
dan tidak monoton, namun menggunakan warna biru dengan panggul-panggul di kedua
sisinya (tidak kotak) yang menjadikan bangunan ini berbeda disamping ornamen lain
yang minimalis.
Selain itu atap gedung yang meruncing juga menjadi ciri
khas dari arsitektur gedung lainnya. Penafsiran beragam terhadap bentuk atap
gedung ini menunjukan ciri post-modern lainnya yang dipercaya sebagai sesuatu
yang bebas untuk dimaknai. Atap gedung ini berbentuk seperti pena dengan ujung
yang runcing. Namun menurut Arsiteknya, atap ini merupkan simbol logo Bank BNI
yaitu layar yang terdapat pada logo lama Bank ini.
Budaya kerja yang muncul dari mereka yang bekerja di
gedung ini juga patut dicermati. Mereka yang berkesempatan bekerja di pusat
perkantoran BNI 46 akan menyesuaikan diri dengan lingkungannnya, termasuk
mengubah budaya kerja dengan penampilan yang selalu necis dan rapi, sangat berbeda
dengan lainnya. Hal ini sangat representatif, sebab tidak semua orang dapat
bekeerja di salah satu gedung tertinggi ini.
Aplikasi budaya Post-modern ini juga dapat dilihat dalam
konsep bangunan yang ada di Plaza Indonesia entertaintment X’center
(eX). Mall ini menggunakan warna yang
cukup berani untuk sebuah konsep mall. Mall ini tersambung dengan Plaza Indonesia
yang menjadi pusat pertokoan produk produk terkenal. Mall ini dirancang bukan
hanya sebagai tempat berbelanja atau aktivitas jual beli layaknya pemahaman
mall kontemporer, namun juga menyediakan unsur entertain di dalamnya.
Pengunjung dapat menikmati beragam fasilitas yang ada di dalam eX.
Dalam Post-modern sendiri, diungkapkan bahwa alasan
terpenting penciptaan simulasi atau pengubahan fenomena “rill” menjadi simulasi
adalah bahwa mereka dapat dibuat menjadi lebih spektakuler dibanding aslinya
sehingga lebih menarik banyak konsumen. Hal ini bisa dilihat dalam konsep
interior eX yang sangat megah, dan membuat orang serasa berada di luar negri,
dan hal ini merupakan suatu simulasi dalam konsep post-modern. Hal ini sama
dengan Las Vegas yang menciptakan banyak setting
artifisial dalam satu lokasi, mulai dari Montecarlo hingga Paris sehingga orang tidak perlu mengunjungi
tempat sebenarnya dari replika yang ada tersebut.
Dalam eX banyak
ditemui butik, club dan restoran, sehingga pengunjung tidak harus keluar dari
eX hanya untuk sekedar makan atau ke club. Selain itu disini juga dapat ditemui
berbagai franchise produk dari luar negeri, sehingga para pengunjung pun tidak
perlu repot ke luar negri bila hanya ingin memakan sepotong pizza. Pada level ini kebutuhan dasar untuk
aktivitas jual beli tidak lagi menjadi hal yang utama, tetapi ditunjang dengan
berbagai hal lain yang lebih bersifat menghibur. Begitu pula dengan fasilitas
lainnya seperti bioskop dan pusat permainan lainnya.
Diungkapkan bahwa jiwa Post-modern menimbulkan banyak
interpretasi dan pemaknaan dari penggunjung. Seperti penggunaan LCD TV di
lantai masuk Mall. Keseluruhan hal ini merupakan suatu bentuk manipulasi dan
penanaman budaya konsumerisme bagi para pengunjung agar lebih tertarik dengan
produk yang ada di dalamnya.
Pertanyaan yang kemudian perlu dijawab apakah tempat
seperti ini menimbulkan keretakan yang lebih dalam pada status sosial
masyarakat Jakarta.
Masuk ke eX menurut pengakuan beberapa pengunjung serasa memasuki sebuah tempat
di Amerika. Harga yang ditawarkan di tempat ini terhadap sebuah produk juga
sangat berkali lipat bila di bandingkan tempat lainnya. Para
pengunjung disini pun merasa perlu untuk menyesuaikan dandanan bila masuk ke
dalam Mall ini.
Disadari atau tidak hal ini telah menjadi semacam budaya
baru, yang membedakan struktur pada masyarakat perkotaan, membuat masyarakat
menjadi lebih konsumerisme dan memperhatikan hal yang lebih dari sekedar lifestyle.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar