“Matikan TV
anda bila tidak ingin anda yang dimatikan TV anda”. Ungkapan ini bukan sebuah
usaha provokatif untuk mensabotase perkembangan dunia teknologi dan media massa.
Namun sekedar untuk memberikan bayangan yang lebih nyata bagi para orang tua
dan khususnya bagi produsen informasi massa untuk lebih waspada saat
memproduksi pesan kapitalis yang akan mereka lempar ke ruang publik.
Anda tentu
ingat dengan film produksi Jepang yang berjudul The Battle Royale? Film ini
meledak di seluruh bioskop dunia pada tahun 2000 lalu. The battle royale
mendadak populer dan sang sutradara Kinji Fukasaku berhasil membawa film ini untuk meraih
berbagai nominasi dalam Japanese Academy Award pada tahun 2001. Namun
kepopuleran tersebut menuai banyak kontroversi, karena isi film yang sangat
tidak mendidik dan bermuatan kekerasan dalam bentuk yang sangat ekstrem.
“Have you
ever killed your best friend?”. Membaca tagline dan melihat cuplikan thriller
film ini sepintas dapat diprediksi bahwa ini bukan tontonan anak-anak, walaupun
pada akhirnya film ini paling banyak di tonton oleh anak-anak dan remaja di
seluruh dunia.
Film ini menceritakan
tentang survival program yang di rancang pemerintah Jepang yang ditujukan untuk
“menyingkirkan” anak muda yang memberontak dan selalu melawan otoritas,
termasuk orang tua mereka sendiri dan sistem pendidikan di Jepang.
Film ini
bersetting tentang kegagalan Jepang sebagai negara, yang menjadi penyebab kekacauan
ini terjadi. Untuk mengatasinya, pemerintah Jepang atas izin orang tua dan
bantun militer, melegalisasi program “The Millenia Educational Act” yang
merupakan kebijakan pendidikan Jepang untuk mengatasi kekacauan yang disebabkan
oleh para remaja ini, yang berasal dari sekolah-sekolah menengah di seluruh
Jepang.
Namun program
ini bukanlah program biasa. Program ini dimulai dengan mengumpulkan 40 orang
siswa nakal di sebuah pulau terpencil. Di pulau ini mereka diwajibkan untuk
membunuh satu sama lain hingga menyisakan satu orang yang mampu survive dan
menjadi pemenang dalam program The Battle Royale.
Masing masing
siswa dilengkapi dengan senjata yang digunakan untuk bertahan dan membunuh
teman-teman yang sekaligus lawan mereka. Tiap orang akan dipasang bom di leher
mereka, dan akan meledak dalam 3 hari bila tidak ada satu siswa yang tetap
hidup dan menjadi pemenang. Bom ini juga akan meledak bila siswa memasuki
daerah berbahaya yang ada di dalam pulau.
Setiap
detiknya mereka akan terancam dalam pembunuhan oleh rekan mereka sendiri, dan
setiap adegan yang ditampilkan dalam film ini adalah tindakan sadisme yang
brutal. Lebih memiriskan saat adegan sadis tersebut dibalut dengan lelucon dan joke
yang membuat film ini semakin tidak mendidik.
Film ini
belakangan diketahui sebagai bentuk representasi pengalaman pahit sang
sutradara terhadap masa lalunya waktu perang dunia II, saat kelas mereka
ditembak membabi buta oleh prajurit bersenjata, dan mereka harus bermandikan
darah saaat membereskan mayat teman-teman mereka.
Namun efek nyatanaya
dalam ruang publik baru mencuat saat media memberitakan kasus Nevada Tan,
seorang gadis Jepang berusia 11 tahun yang membunuh teman sekelasnya, Satomi
Mitirai. Tan diketahui penggemar berat The Battle Royale, baik dalam bentuk
film, komik, novel, game dan mengikuti semua sekuel The Battle Royale.
Selaian film
ini, sejarah Jepang juga pernah mencatat seorang bocah berusia 13 tahun yang
membunuh gurunya dengan sebuah pisau lipat. Ia adalah penggemar berat film
drama Gift yang ditayangkan TV Jepang, dimana karakter dalam tayangan ini selalu
digambarkan dengan pisau lipatnya. Bentuk ini tentunya sangat ekstreem, namun
nyata. Masa tersebut merupakan masa kebebasan siaran TV, Film dan berbagai
bentuk drama kekerasan beredar di Jepang, yang kemudian makin mendorong
pemerintahnya untuk lebih waspada terhadap konstruksi cerita kekerasan dalam
media massa.
Kasus di Indonesia
Bagaimana
dengan di Indoneisa? Masih segar juga dalam ingatan kita tentang aksi kekerasan
yang dilakukan anak-anak setelah menonton ataupun memainkan video game Smack
Down beberapa waktu lalu. Prilaku agresif ini merupakan regulasi awal bagi para
orang tua dan pemerintah, untuk lebih waspada terhadap kebutuhan tayangan
bermanfaat sebagai tontonan anak, agar
kasus Nevada Tan tidak terjadi juga di Indonesia. Pada waktu itu pemerintah menanggapi
dengan cukup arif karena kemudian melarang tontonan olahraga kekerasan yang
direkayasa ini beredar di semua televisi Indonesia (walaupun dalam bentuk Game
masih dapat dijumpai).
Pertanyaannya
adalah apakah hal ini cukup? Sebab prilaku agresif anak terkait dengan tayangan
kekerasan di televisi masih tetap berlangsung dalam bentuk yang cukup ekstrem. Seorang guru TK pernah menanyai seorang muridnya
karena memukul teman sebangkunya dengan sebuah palu kayu mainan yang menjadi
alat praga di kelasnya. Pukulan ini membuat temannya itu harus mendapat
beberapa jahitan di kepala.
Saat ditanya
tentang sikap penyerangannya tersebut, si anak tidak menganggap hal itu sebagai
sebuah tindak kejahatan, sebab ia mengaku hanya menirukan aksi Tom and Jerry
yang sering dilihatnya di Televisi. Menurutnya, temannya tidak akan terluka
dengan pukulan tersebut, karena setiap aksi serupa yang dilakukan Tom dan Jerry
tidak pernah saling melukai satu sama lain. Untuk orang dewasa hal ini sangat
tidak logis, namun dalam fikiran anak-anak hal inilah yang menjadi interpretasi
aksi agresif dalam sebuah tayangan kartun. Ini hanya sebagian contoh kecil yang
dapat dipelajari dilingkungan kita sehari-hari, disamping banyak efek kekerasan
media lainnya yang tidak terpublikasi oleh media.
Kontroversi kekerasan Media
Efek tayangan
kekerasan di media mulai menjadi sorotan sejak larangan penayangan film “The
James Boys In Missouri” di bioskop pada
tahun 1909. Polisi Chicago pada masa itu menganggap film ini berpotensi untuk
membentuk prilaku kriminal didiri penonton remaja. Sejak saat ini kontroversi
dimulai terutama sejak peningkatan popularitas film (1920) dan perkembangan Televisi (1950). Banyak ahli yang
kemudian melakukan penelitian terkait dengan prilaku agresif dan tidak
bersahabat yang ditimbulkan setelah pesan kekerasan masuk dalam diri satu
individu, khususnya anak. Penelitian yang dilakukan dengan metode eksprimen
tersebut semuanya merujuk pada satu hasil serupa.
Tesisnya
adalah bahwa anak-anak akan menunjukan prilaku agresif, bermusuhan dan
menyakiti orang lain setelah diperlihatkan tontonan yang berisi adegan
kekerasan. Hal ini didukung oleh survey mengejutkan yang dilakukan Philipe dan
Centerwall (mulai tahun 1979-1989) yang menunjukan pembunuhan nasional di
Amerika Serikat meningkat 2 kali lipat akibat isi pesan media yang berbau
kekerasan. Survey lainnyapun menunjukan hal yang sama. Huesmann dan Eron (1986)
meneliti anak berusia 8 tahun dan melakukan pemantauan terus menerus hingga
mereka berusia 30 tahun.
Mereka
menemukan bahwa anak yang masa kecilnya sering melihat adegan kekerasan di
televisi memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam kejahatan
berat ketika mereka dewasa. Kesimpulan
dasarnya bahwa kebiasaan agresif dapat terlihat dan dipelajari dari
kehidupan awal (umur muda) dan sekali terbangun, sulit berubah dan diprediksi
akan menjadi kelakuan antisosial ketika nanti dia dewasa.
Antisosial
dan brutal dapat dicontohkan pada kasus penembakan di Virginia Tech University
yang dilakukan Cho Seung Hui, seorang imigran Korea Selatan yang menewaskan 33
orang. Cho berimigrasi ke Amerka sejak berusia 8 tahun dan hidup dalam kondisi
kemiskinan. Ia sangat antisosial, dan belakangan diketahui sebagai seorang
psikopat.
Ketika polisi
menyelidiki kamar Cho, mereka menemukan sebuah catatan yang melukiskan betapa
hidupnya sangat menderita dan berencana untuk bunuh diri. Dalam sebuah catatan
yang ditinggalkannya di pintu kamar asramanya, ia menguraikan daftar
keluhannya, ia mengecam "anak-anak kaya", "pembual" yang
"jahat" dan "penipu" di kampus itu. Kalimat lainnya dalam
catatan itu berbunyi "kalian yang membuat aku melakukan semua ini".
Terlepas dari
apapun motif yang menjadi tekanan Cho, ia diketahui sebagai penggemar berat
game game kekerasan, terutama Counter Strike. Ia sangat terlatih untuk
memainkan game ini, yang berisikan aksi tembak menembak. Hal ini juga yang membuat
Cho mampu dengan tenang menembaki ke 33 siswa dan dosen di kampusnya, karena
merasa telah biasa, sama seperti berada dalam game yang sering dimainkannya
tersebut.
Perlu
Kewaspadaan
Sekarang siapa yang harusnya waspada
terhadap efek kekerasan di media massa ini?. Pesatnya teknologi informasi membuat
batasan media untuk tidak menayangkan prilaku kekerasan semakin sulit di
terapkan. Kekerasan saat ini tidak hanya berada di Film, sinetron, ataupun film
kartun impor. Namun juga dalam produk jurnalistik seperti berita, yang
sejatinya bisa dinikmati dengan aman oleh semua umur.
Namun pada
kenyataannya di Indonesia, berita kekerasan mendominasi wajah media Indonesia.
Belum sensasional bila belum ada yang mati, berdarah atau terluka. Apa efeknya?
Seperti yang di ungkapkan para peneliti terdahulu, yaitu peniruan dan
agresifitas. Bila diperhatikan dengan cermat, terdapat pola peniruan kekerasan yang
merupakan adaptasi berita kekerasan di media. Satu penjahat memutilasi,
beruntun pula kasus mutilasi dijumpai. Satu istri bunuh suami, menyusul
istri-istri lainnya melakukan hal serupa. Dan seterusnya. Gambaran ini makin
luas bila kita teliti dari aspek kekerasan lainnya. Kekerasan psikis, fisik,
seksual, biologis, gender dan kekerasan lainnya.
Semua orang
harus waspada. Bila tidak jeli, TV bisa mematikan. Media mampu merekonstruksi
budaya kekerasan dalam bentuk yang sangat “cantik” sehingga kita sebagai
penonton merasakan halusinasi yang tidak nyata bahwa hal yang ditampilkan
adalah bentuk kekerasan yang merangsang agresifitas dan kebrutalan. Dan lebih
parah lagi bila hal seperti ini yang menemani tumbuh dan berkembangnya
anak-anak kita menuju kedewasaan.
Sudah saatnya
kita membebaskan anak-anak kita dari visualisasi budaya halusisnasi ke budaya
realitas dan realistis. Sudah saatnya kembali membiasakan anak-anak kita
bergembira bermain bola dengan nyata di lapangan bola, bukan bermain bola di
dalam ruang virtual Game station di sebuah kotak Video dengan judul “winning
eleven”. Pilihan tentunya ada di tangan anda.
Pelaku
mediapun diharapkan tidak terlalu jauh terseret dalam dilema kapitalis, dan
tetap berpegang pada porsi idealis yang seimbang. Selanjutnya tinggal PR
pemerintah dengan mengatur regulasi dan meningkatkan kewaspadaan terhadap
tayangan impor yang cukup meresahkan akhir akhir ini. Semoga akan terbentuk generasi
bermoral dan beradab di masa akan datang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar