Film studies merupakan salah satu objek kajian yang
digunakan untuk melihat perkembangan bentuk dunia fiksi yang dikonstruksi dalam
penggabungan dunia seni peran dan dunia teknis audio visual elektronik. Dalam
kaitannnya dengan cultural studies, film studies lebih menekankan pada text dan
simbol yang dibuat dalam sebuah film dengan memperhatikan nilai estetika yang
terkandung dalam sebuah cerita. Sedangkan cultural studies lebih menekankan
pada content budaya termasuk di dalamnya text dan simbol yang menjadi bagian
dalam film studies.
Mengkaji sebuah film akan lebih menarik bila melihat
dari sudut estetika dan nilai keindahan yanga terkandung di dalamnya. Nilai ini
merupakan harga mati untuk kualitas sebuah film yang diproduksi. Estetika film
merupakan faktor dominian bagi para sineas saat membuat sebuah karya yang
berkualitas, dapat diterima dan menyentuh emosi penonton. Disamping faktor
lainnya yang ada dalam konteks dunia perfilman seperti faktor ekonomi, politik,
sosial dan budaya film.
Film merupakan sebuah objek kajian dan bukan ilmu, yang dinikmati
oleh audien dengan mengikuti alur yang ditampilkan dalam film tersebut. Film
dapat diumpamakan sebagai sebuah komunikasi naratif, karena pada dasarnya film
berisikan jalan cerita yang mengalir sesuai dengan tujuan film tersebut.
Cerita film merupakan sebuah bentuk visual fiksi ataupun
nonfiksi yang dikemas dalam sebuah alur cerita. Pada prinsipnya text yang
terdapat dalam struktur sebuah film, menurut Bordwell memiliki skema tertentu
yang merupakan inti struktur tekstual film. Ia menggambarkan tiga pembagian
utama dalam lingkaran skema tersebut, pertama nondiegetic representation, kedua, diegetic world dan ketiga karakter.
Nondiegetic
representation merupakan text dan simbol film yang
tercipta darai bentuk teknis pembuatan film. Hal ini meliputi teknik
pengambilan gambar/kamera, editing, termasuk didalamnya simbol yang muncul dari
penggunaan pelengkap produksi mulai dari kostum, make up dan
penonjolan-penonjolan tertentu, termasuk juga musik dan sound effect.
Kedua yaitu diegetic
world yang pada dasrnya berisikan kekutan pencitraan film terhadap dunia
fiksi, atau ruang lingkup cerita. Ketiga, yang berada pada pusat tekstual film
adalah karakter pemain, yang pada prakteknya lebih banyak membawa simbol dan
makna, termasuk percontohan bagi audien, dan merupakan sentral film yang
membuat hidup atau tidaknya sebuah film. Penciptaan karakter harus melihat
banyak aspek, terutama kekuatan peran tersebut dalam rangkaian cerita film yang
dibuat.
Karakter dalam tokoh film dapat ditonjolkan dengan
berbagai cara, termasuk dengan penekanan pada kebiasaan, sifat dan sikap,
tindakan yang dilakukan tokoh film dan prinsip hubungan yang berlaku antara
satu karakter dengan karakter pendukung lainnya. Penciptaan tokoh nantinya akan
menjadi pengikat emosi audien untuk terus menikmati film dan mengerti dengan
simbol tekstual dan makna yang disampaikan dalam film.
Style atau gaya yang
dimiliki sineas dapat dilihat dari banyak komponen, mulai dari pengangkatan isu
film, teknik kamera dan pemotongan gambar termasuk gaya penyelesaian pada pasca produksi, hingga
dimensi gerakan yang tercipta dalam penyutradaraan.
Menciptakan karya yang bernilai estetika dan seni
tinggi, merupakan tantangan sulit bagi para sineas, tidak saja bagi para
pemula, namun para profesional perfilmanpun masih harus mempelajari banyak hal
dalam membuat film yang baik, dalam konsep estetika.
Film yang baik mampu menampilkan manajemen konflik yang
beragam. Dalam teori konflik, terdapat tiga level konflik yang dapat diaplikasikan
dalam pembuatan alur cerita film. Konflik bertujuan untuk menciptakan
keteertarikan penonton, memainkan emosi dan melarutkan audien tersebut dalam
suasana yang diciptakan, sehingga mereka dapat memahami makna film yang ingin
ditonjolkan.
Tiga level konflik dalam teori ini antara lain, inner conflict, personal conflict, dan
ekstra personal conflict. Tiga level konflik ini mampu menciptakan emosi
beragam bila diaplikasikan dengan benar dalam produksi film. Konflik yang
palinng sering muncul dalam alur cerita nantinya akan menentukan genre film
yang dibuat.
Inner conflict, merupakan konflik yang paling sulit untuk diolah, namun memiliki
tingkat emosionl yang sangat tinggi bila konflik dari dalam ini dapat dimunculkan
dan dibentuk sedemikian rupa, sehingga audien dan penonton mampu merasakan
konflik batin yang diperankan tokohnya.
Konflik ini berpusat pada diri, emosi dan faktor
kejiwaan lain yang bisa digambarkan dengan simbol gerak ataaupun act oleh pemerannya. Penonjolan konflik
dari dalam, baik di hati ataupun fikirannya, akan menciptakan ruang fikir yang
mengarahkan penonton untuk mengolah informasi dengan lebih aktif. Hal ini dapat
dilihat pada film yang menampilkan kisah kisah psikologis pada tokohnya.
Konflik ini dapat dikembangkan lebih lanjut pada konflik-konflik selanjutnya.
Konflik pada level selanjutnya merupakan konflik
personal yang biasanya merupakan lanjutan dari konflik diri. Konflik ini dapat
terjadi antara diri dengan lingkungan, seprti konflik dalam keluarga, dalam
hubungan baik pertemanan ataupun dalam percintaan. Konflik ini melibatkan dua
tokoh atau lebih, namun tetap berfokus pada tokoh sentral yang di tonjolkan
dengan karakter khusus.
Konflik personal merupakan konflik yang sangat sering
ditemui dalam film, apapun bentuknya. Konflik ini terasa lebih menyentuh, sebab
terdapat hubungan didalamnya. Pada film ataupun tayangan televisi lainnya
biasanya akan menciptakan tokoh berlawanan, protagonis dan antagonis. Tokoh ini
biasanya memiliki hubungan emosional yang berkonflik dan membuat sebuah masalah
ada dalam cerita. Namun dalam penafsiran lainnya konflik bisa saja dibuat dalam
bentuk apapun, termasuk konflik pada level selanjutnya, yaitu ekstra personal
konflik.
Konflik Ekstra personal merupakan seuatu yang berada
diluar tokoh, namun masih memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh film dan menjadi
sesuatu yang sangat luas dan berdampak dalam lingkup yang luas. Hal ini dapat
dilihat pada konflik yang diciptakan dalam social
institution, individual society ataupun physical
environment. Namun bisa saja dalam satu film terdapat lebih dari satu
konflik yang berujung pada satu penyelesaian cerita yang happy ending, setelah mengalami masa keteganggan konflik hingga
level klimaks.
Titik klimaks merupakan hal yang menentukan dalam film.
Titik ini menjadi akhir penentuan cerita film dan menentukan apakah emosi dan
simbol yang didesain dapat sampai pada tujuannya.
Dalam pembuatanya, desain film dapat dibagi dalam tiga struktur
berbeda. Classical design (archplot),
minimalism (miniplot) dan anti structure (antiplot). Ketiga bentuk ini memiliki
karakter dan alur yang biasanya sangat berbeda, namun tetap berpegang pada
nilai estetis produksi teks film.
Classical desaign di nilai sebagai bentuk yang paling
baik dalam pembuatan film. Bentuk ini memiliki hubungan kausalitas atau sebab
akibat, dan dicirikan dengan pentup cerita adanya penutup cerita yang
menyelesaikan konflik setelah kondisi klimaks. Ending ini biasanya tertutup. Bentuk
klasik ini memiliki waktu yang linear dan biasanya sangat konsoisten dengan
realitas yang ada. Konflik yang dimunculkan biasanya konflik eksternal, baik
personal ataupun ekstra personal. Namundalam beberapa aksinya, konflik yang
berasal dari dalam juga sering dimunculkan. Karakter yang dibentuk biasanya
pelaku utama tunggal dan bersifat aktif. Film seperti ini terbilang cukup sulit
untuk didesaign, terutama bila para sineas yang memiliki tingkat imajinasi yang
tinggi, yang terkadang sering membuat lompatan dalam strukturnya, dan membuat ketidak
konsistenan dengan kenyataann. Namun bentuk seperti ini juga mendapat porsi
khusus bagi para pencinta seni perfilman.
Desain kedua, merupakan bentuk yang lebih terbuka dan
longgar. Desain minimalis atau yang dikenal dengan miniplot. Desain ini
dicirikan dengan penutup film yang terbuka dan berkembang. Didominasi dengan
internal konflik, dan memiliki tokoh protagonis yang multi dan pasif. Karakter
film ini biasanya statis dan dapat berubah-ubah.
Bentuk selanjutnya adalah anti structure atau yang
dikenal juga dengan antiplot. Disini interpretasi sineas merupakan simbol yang
dapat ditafsirkan beragam dan menonjolkan nilai tertentu yang dianggap sangat
estetis. Bentuk seperti ini memilki coincidence, dan waktu yang tidak linear,
sering tidak konsisten dengan kenyataan. Namun bentuk seperti ini juga memiliki
kemampuan perubahan yang tinggi dan sangat statis. Dua bentuk terakhir ini juga
dinilai sebagai bentuk yang non plot.
Alur cerita yang dilalui tokoh
biasanya bersifat beragam. Ada
pola cerita yanag semakin lama semakin meningkat dan mencapai titik klimaks
pada satu tingkatan, yang kemudian ditutup dengan ending cerita yang beragam. Namun
ada pula pola alur yang naik turun hingga akhir cerita, dan tetap memiliki
penyelesaian konflik cerita di akhir film. Hal ini pada prinsipnya sama
bermanfaat dan dapat diaplikasikan dalam membuat film yang menarik.
Dalam sebuah cerita film,
para tokoh tidak hanya melewati satu masalah,namun banyak masalah yang akhirnya
menimbulkan tindakan pada diri tokoh tersebut. Hal ini dikenal dengan gap yang
dapat berbentuk inner personal atau ekstra personal konflik. Tiap gap yang
tercipta akan menimbulkan aksi, hingga ending film berakhir.
Text film Saving Private Ryan
Saving private Ryan adalah salah satu contoh film yang
berkesempatan untuk dianalisis dan menjadi percontohan untuk melihat struktur desain
film, ploting dan teks naratif film ini. Film ini merupakan film yang berseting
suasana perang yang didukung sedemikian rupa dengan lokasi dan desain lokasi
yang sangat menyerupai realitasnya.
Bila dilihat dari arus naratifnya, film ini dapat dikelompokan dalam
desain archplot atau desain klasik.
Dari segi penajaman
konflik, film ini sangat mampu membawa penontonya dalam suasana konflik
berkepanjangan. Awal film sudah memunculkan konflik eksternal yang dibumbui
dengan konflik internal. Hal ini didukung juga dengan penekanan gambar yang
banyak menyentuh detail sehingga lebih gampang untuk ditafsirkan penonton. Film
ditampilkan dengan sangat realistis dan tidak mencoba mengingkari dunia nyata yang
terjadi pada setting waktu yang dipilih.
Konflik film ini
dapat dirasakan dalam emosi yang naik turun, berganti dengan cepat bdari
konflik internal-eksternal, personal hingga ekstra personal. Hubungan yang
diciptakan dalam film sangat kuat dan menciptakan saling ketergantungan dalam
satu tokoh dan satu penggal cerita. Konflik ini mampu bertahan hingga akhir
cerita dan sangat memancing keingintahuan dari satu penggal cerita ke lainnya.
Karakter yang
dimunculkan juga memiliki perbedaan yang cukup bervariasi dan mewakili satu traits yang berbeda. Dalam hal ini
beberapa tokoh, selain mengalami konflik eksternal juga mengalami konflik
internal yang membuat penonton dapat lebih mengerti dengan konsep karakter yang
dimainkan.
Kekuatan
sinematografi film ini juga patut diperhitungkan. Film ini terbilang sangat
mampu menseting tempat dan waktu dengan sangat baik. Seting perang dunia ini
memberikan gambaran sesungguhnya tentang apa yang terjadi pada masa tersebut.
Alur cerita yang memiliki banyak gap, aksi dan ending ini, pada
akhirnya ditutup dengan penyelesaian konflik yang cukup tragis bagi tokoh namun
selesai secara eksternal. Kematian tokoh Jendral dalam film ini membawa
penafsiran yang sangat beragam, terkait dengan tokoh Ryan. Ending ini
sebenarnya berujung pada konflik batin tokoh Ryan, dengan perasaan bersalahnya.
Jadi dapat dilihat, film ini diawali dengan konflik batin dan diakhiri dengan
sisa konflik yang bagi tokoh belum bisa selesai.
Secara teknis, film
ini juga cukup baik dan tidak membingungkan. Pergerakan kamera cukup dinamis
dan sesuai dengan pandangan mata. Transisi tidak terlalu banyak dan menggunakan
teknik kamera yang sangat bervariasi, mulai dari middle, close up, ekstrim
close up, dan juga long shoot hingga ekstra long shoot. Hal ini membuat susunan
cerita yang lebih terbaca dan tidak ada jump shoot.
Selain
teknis, dukungan sound effect yang cukup mewakili keadaan cerita juga menjadi
pendukung film ini. Effek tertentu mampu dimunculkan dengan baik, termasuk
musik yang muncul pada beberapa sesi cerita.
4 komentar:
thanks for review
maaf, mau bertanya. sumber dari tulisan di atas itu apa ya? apa bisa berbagi?
terima kasih ..
ada dalam sub bab buku2nya Christian Metz (judul:Film Language) dan David Bordwell (judul:film art).. :)
Nice mysurrealistthink
Posting Komentar