Kajian
Teoritis
Perkembangan Manusia
Dalam Psikoanalisis
Sigmund Freud
Setiap manusia memiliki
sejarah pembentukan diri masing-masing hingga akhirnya tiap individu menjadi
diri utuh, otonom, terpisah dari yang lain, dan merasakan perbedaan antara aku
dan bukan aku. Manusia biasanya hanya mengingat sampai moment ketika
pertama kali merasakan bahwa “aku” ternyata berbeda dengan sesuatu “disekelilingku”
(benda-benda dan manusia). Pada fase inilah seorang manusia mulai memahat konsep
tentang siapa dirinya. Kesadaran sebagai makhluk yang otonom
mengandaikan kehilangan, kesendirian, ketragisan dan selanjutnya kondisi ini
menuntut kestabilan. Kestabilan merupakan konsekuensi atas keberadaan dalam
kesendirian.
Tetapi apakah konsep “diri”
merupakan sesuatu yang mantap, stabil dan utuh? Ataukah ia sesungguhnya
berada dalam ketidakpastian, selalu goyah, dan tidak pernah stabil? Pencarian
tentang diri manusia sudah dimulai sejak manusia ada. Descrates mengungkapkan
bahwa manusia adalah subyek yang berfikir. Ketidaktetapan akan diakhiri dengan
menegaskan bahwa “aku” adalah sesuatu yang mantap dan utuh. Namun darimana
asalnya manusia menyebut dirinya sebagai sesuatu yang utuh, yang menandai
berdirinya Humanisme? Premis dasar humanisme mengandaikan adanya konstruksi
diri yang diangap stabil, seperti memiliki kehendak bebas dan berada diluar
determinan-determinan eksternal. (http://www.e-psikologi.com)
Psikoanalisis Freud
menjawab kegelisahan ini melalui konsep tiga dasar diri yaitu Id, Ego,
dan Superego. Frued berkeyakinan bahwa jiwa manusia
mempunyai struktur. Struktur jiwa tersebut meliputi tiga instansi atau sistem
yang berbeda. Masing-masing sistem tersebut memiliki peran dan fungsi
sendiri-sendiri. Keharmonisan dan keselarasan kerja sama di antara ketiganya
sangat menentukan kesehatan jiwa seseorang. Adagium Freud
berbunyi Wo Es war, Soll Ich Werden (dimana ada Id disitu berpatroli
Ego). Freud ingin menjawab kenyatan, melalui investigasinya, anak yang suka
membangkang pada akhirnya justru menjadi orang dewasa yang beradab dan
produktif. Adagium itu ingin menegaskan bahwa ketaksadaran ditentukan,
dikontrol, distabilkan oleh kesadaran. (www.e-psikologi.com)
Jacques Lacan
Bagi Jacques Lacan yang dikenal sebagai
anomali psikoanalisis menggoreskan tesis terbalik atas Freud. “Ketaksadaran lah yang membentuk kesadaran”.
Lacan mengatakan bahwa ego atau”Aku”
(sesuatu yang dirujuk sebagai ‘diri’) hanyalah ilusi dari hasrat itu sendiri.
Hasrat merupakan kodrat manusia yang selalu berada dalam kekurangan. Tetapi
moment ketragisan yaitu saat kehilangan sesuatu“yang dicintai” (lepasnya bayi
dari sang ibu) muncul maka sebentuk ego mesti dibentuk. Ego terbentuk melalui
hasrat untuk memiliki identitas sehingga ego terbentuk oleh hasrat untuk
memiliki identitas. Tetapi sekali lagi lacan mengatakan ego yang dirajut
tersebut pada dasarnya adalah sesuatu yang imajiner, kesalahpengenalan yang tak
mungkin ditawar.
Lacan mengatakan bahwa ketaksadaran sepenuhnya adalah
sadar akan bahasa, dan secara khusus ia terdiri dari struktur bahasa. Bertolak
dari hasrat yang senantisa bergolak, Lacan kemudian memodifikasi prinsip Saussure.
Bagi Lacan, tidak ada petanda yang pada akhirnya
dirujuk penanda. Semua bergelincir, bergeser, dan bersirkulasi. Suatu
penanda hanya menggring kepada penanda lainya dan tidak pernah kepada petanda.
Seperti halnya kata dalam sebuah kamus yang menggring kepada kata-kata lainya
dan tidak pernah kepada sesuatu yang direpresentasikan oleh kata tersebut.
Namun Lacan masih menyimpan
ambiguitas. Disatu sisi ia mengatakan bahwa tidak ada sebuah dasar atau dalam
istilah Derrida tidak ada pusat karena keterpisahan dengan ”yang dicintai”
mengandaikan kehilangan akan rasa penyatuan dan setelah itu semua hanya ilusi
imajener. Di sisi lain ia masih membayangkan sebuah pusat dari tatanan simbolik
yang disebutnya dengan phallus. Berbeda dengan Freud dan Suassure,
masing-masing mengandaikan adanya pusat dan jaminan akan kestabilan tertentu.
Freud beripjak pada Ego. Sementara Suassure meneguhkan hubungan antara penanda
dan petanda yang menjamin adanya makna. Lacan sendiri mengandaikan adanya pusat:
- Sesuatu berupa dimensi Yang Real, suatu yang hilang setelah moment keterlepasan yang menimbulkan hasarat untuk “menjadi”.
- Phallus, pusat tatanan simbolik. Keduanya dihasrati oleh individu tetapi tidak akan pernah sampai.
Lacan kemudian menandai tiga tahap
perkembangan individu yaitu need (kebutuhan),
demand (permintaan) dan desire (hasrat). Ketiga tahap tersebut saling
bertumpang tindih, antara satu tahap dengan tahap yang lain dan tidak dipisah
oleh suatu batas yang menandai perubahanya. Pada tahap permintaan seseorang
masih menyimpan kebutuhan-kebutuhan akan obyek-oyek yang dapat memenuhinya.
Namun berbeda dengan tahap sebelumnya, pada tahap permintaan yang dinginkan
bukan obyek pemuas kebutuhan melainkan liyan
yang diposisikan sebagai sarana pembentuk identitas. Ketiga kebutuhan itu berkaitan erat dengan tiga gugus utama
lainya yaitu Yang Real, Imajiner, dan Simbolik.
·
Yang
Real
Menjelaskan konsep yang real, Lacan
tidak dapat tidak musti memulainya dengan mengilustrasiikan kehidupan
manusiasia paling awal didunia yaitu pada saat masih bayi. Seperti Freud, Lacan
mengatakan bahwa bayi tidak mengenal konsep tentang diri dan liyan.
“Dia tidak bisa membedakan antara dirinya dengan
benda dan apapun diluar dirinya bahkan ibu atau angota tubuhnya
sendiri. Ia didorong oleh kebutuhan akan makan dan rasa nyaman. Ia
memperoleh payudara ketika butuh makan dan mendapat pelukan untuk memenuhi
kehangatan dan rasa nyaman yang dibutuhkan. Ini adalah keadaan alami yang hrus
dipecahkan agar ia bias masuk kedalam anggota sebuah kebudayan. Dan kondisi
ini, adalah gambaran situasi di dunia real. Dunia real dipahami sebagai sebuah
kondisi dimana tidak ada kehilangan dan ketiadaan, tidak ada kebutuhan yang
tidak dapat terpenuhi. Karena itu didalamnya tidak ada bahasa. Yang Real adalah
suatu alam yang tak pernah dapat digambarkan karena sejak manusia dilempar
kedunia dan merasakan ide tentang “diri” dan “liyan” kondisi ini tidak pernah
dapat direngkuhnya kembali”.
·
Imajiner
Dunia real tidak berlangsung lama. Keterpisahan
dengan ibu memunculkan rasa kehilangan dan ketiadaan. Ini adalah pengalaman
tragis yang menyakitkan bagi bayi. Momen kehilangan ini merupakan titik awal
dimana bayi memiliki kesadaran ‘diri’ dan ‘liyan’, antara dia sebagai oknum
utuh yang berdiri sendiri dan liyan yang juga adalah oknum lain yang mandiri.
Kehilangan melahirkan kecemasan. Situasi ini menodorong bayi meminta kembali
apa yang dulu pernah didapatkanya. Tetapi ia tidak akan dapat memprolehnya
kembali. Inilah yang memaksanya melihat dirinya sebagai satu individu
lain yang utuh dan berbeda. Lacan menjelaskan tentang fase cermin yang penting
dimana bayi melihat pada pantulan cermin bahwa dia adalah kesatuan tersendiri
yang berbeda sekaligus sama dengan orang lain.
“Citra diri dalam cermin yang dilihatnya, ia
akui sebagai identitas dirinya yang disebut “Aku”. Bayi tidak dapat menyebut
diri yang terpantul di cermin sebagai ”Aku” tanpa keterlibatan orang lain.
Artinya bayi tidak tahu bahwa citra cermin itu disebut ”Aku”. Orang lain
berperan memberitahukan kepadanya bahwa itu adalah “Aku”nya. Saat bayi menyebut
citraan itu sebagai” Aku” saat itulah ia masuk ke dalam struktur tatanan
simbolik yang memliki aturan-aturan yang harus dipatuhinya seumur hidup”.
Tetapi citra dalam cermin yang disebutnya
“Aku” bukanlah dirinya yang sesungguhnya melainkan struktur imajiner yang mau tidak mau diakuinya sebagi identitas
dirinya. Alasanya sangat sederhana, karena individu membutuhkan organisasi diri
yang mapan sebagai modal menempuh kehidupan dan membedakan dirinya dengan orang
lain. Lacan menyebutkan bahwa citra dicermin itu adalah liyan.
Yang juga termasuk liyan, menurut Lacan,
adalah ide tentang diri kita atau, dalam kasus bayi, ide tentang diri bayi itu
sendiri. Dengan demikian maka bayi mengenal dirinya melalui liyan yang adalah
citra yang muncul pada cermin. Factor penting yang mendorong bayi mau tidak mau
mengakui citraan imajiner itu sebagi dirinya adalah hasarat untk memiliki
identitas. Itulah sebanya Lacan tidak melihat identitas sebagai ”Identity” yaitu sesuatu yang mapan,
utuh, dan tidak retak. Tetapi ia menyebutnya “I-dentity”, aku dan identitas. Inilah yang disebut dengan tahap
permintaan akan identitas yang iamjiner.
·
Symbolic
Menurut Lacan, Hasrat tidak dapat
dipenuhi dan tidak terbatas hanya pada obyek-obyek yang dapat memenuhi
kebutuhanya, hasrat akan kasih sayang atau hasrat untuk memperoleh pengakuan
dari orang lain. Tetapi hasrat juga menginginkan untuk menjadi pusat dari
tatanan simbolik atau pusat dari sistem yaitu Phalus. Kehilangan dari
yang real atau ibu yang bersifat maternal mendorong individu berhasrat mencapai
pusat pengatur tatanan simbolik. Pusat itu adalah phallus yang menstrukturasi individu dalam jeratan aturan
simbol-simbol bahasa hingga menjadi nom-du-pere adalaah obsesi setiap
individu.
“Ketundukan pada aturan-aturan bahasa itu-Hukum
Sang Ayah- diperlukan untuk memasuki tatanan symbolic. Untuk menjadi
subyek yang berbicara, manusia harus tunduk dan mematuhi hukum dan aturan
bahasa sebagai modal untuk menjadi anggota suatu peradaban. Tidak dapat
dibayangkan bagaimana nasib seseorang ketika ia tidak dapat tunduk pada aturan
bahasa atau Hukum-Sang-Ayah, ia mungkin akan terkucil dari dunia.
Pengenalan bayi akan dirinya pada perkembangan
selanjutnya semakin diperluas. Pertama-tama ia mengenal diri-ku, kemudian
secara sosial seturut perkembangan individu ia mengidentikasi lingkungan
sekitarnya. Ia mulai mengenal kelompoku, sukuku, etnisku, budaya-ku, agamaku,
negaraku, bangsaku. Kebutuhan akan rasa aman dan nyaman social dipenuhi oleh
identifikasi dirinya dengan struktur social yang lebih luas. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor kesamaan antara dirinya dan lingkungan sosialnya.
Masuknya individu kedalam sebuah kelompok pertama-tama diinterpelasi oleh hukum
dan aturan bahasa yang harus dipatuhinya untuk memenuhi hasrat menjadi pusat
tatanan symbolic.
·
Hasrat
Bagi Lacan hal pertama yang harus dipahami ketika
memahami hasrat adalah hasrat terhadap Liyan. Liyan selalu menopang kekurang
yang tiada akhir. ‘liyan’ muncul pertama kali di fase imajiner. ‘liyan’ adalah
bukan ‘aku’ tetapi sekaligus (diaku sebagai) ‘aku’. ‘liyan’ menutupi lubang
yang ditinggalkan oleh keterpisahan dengan Yang
Real. Sedangkan Liyan (dengan L besar) adalah phallus atau pusat tatanan simbolik. Ia merupakan tempat dimana
semua orang ingin menuju. Manusia, bagi Lacan, berada diantara perasaan
kehilangan dan ke-taksampai-an. Dari situlah hasrat muncul. Ada tiga hal yang harus diingat ketika
memahami apa yang dimaksud sebagai hasrat oleh Lacan:
- Pertama, hasrat dapat berbentuk hasrat untuk menjadi atau hasrat untuk memiliki. Hasrat menjadi memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan idetifikasi, sedangkan hasrat untuk memiliki mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain.
- Kedua, karena hasrat terutama adalah hasrat terhdap liyan, secara khusus liyan bisa menjadi subyek sekaligus obyek hasrat. Menghasrati sekaligus dihasrati.
- Ketiga, ‘Liyan’ mengambil bentuk dalam citra orang lain pada tatanan imajiner, kode yang membentuk tatanan simbolik, atau subtansi khusus pada Yang Real. Lacan membagi hasrat dalam empat bentuk:
·
Narsistik pasif.
Seseorang berhasrat menjadi obyek cinta (Liyan) orang/sesuatu lain
(hasrat dikagumi, idealisasi orang lain, atau rekognisi orang lain)
·
Narsistik aktif. Seseorang berhasrat menjadi orang lain. Identifikasi diri pada
orang lain (Liyan) adalah cinta atau devosi pada sesuatu yang lain.
·
Anaklitik aktif. Hasrat memiliki orang/sesuatu (Liyan) sebagai cara mendapat
kepuasan
·
Anaklitik pasif. Hasrat ingin dimiliki Liyan (orang lain atau sesuatu yang lain)
sebagai sumber kepuasan liyan.
Hasrat
Untuk “menjadi”
Hasrat untuk menjadi bekerja dalam bentuk identifikasi.
Identifikasi bekerja pada tiga tataran; Simbolik,
Imajiner, dan Yang Real. Tatanan Simbolik berada dalam dan melalui system penanda atau Master Signifier. Manifestasi tatanan Imajiner menampak pada
bentuk-bentuk citra-an. Sedangkan
modus Yang Real memperoleh
pengaruhnya pada fantasi. Identifikasi adalah
suatu cara dimana subyek diinterpelasi dan subyektifitas mereka diubah oleh
diskursus. Modus kerja identifikasi tampak misalnya ketika orang-orang membaca
kisah tertentu atau menonton sebuah film. Peran utama yang dimainkan seorang
tokoh dalam kisah, film, atau relitas nyata adalah menginterpelasi subyek
agar mengidentifikasi diri mereka dengan tokoh tersebut. Saat subyek
terhubung dengan obyek rasa kagum mereka maka ia harus merepresi semua hasrat
yang tidak sejalan dengan ciri, keinginan-keinginan, karakter, dan segala
kualitas yang dikandung obyek tersebut. Identifikasi selalu memberi motivasi
pada keinginan untuk menjadi (want-of-being).
Dari paparan ini seolah-olah tampak bahwa hasrat
merupakan daya dorong munculnya identifikasi. Dengan kata lain identifikasi
adalah akibat dari hasrat. Akan tetapi Lacan
menjelaskan bahwa identifikasi juga dapat menjadi sebab dari hasrat. Jadi,
hasrat untuk menjadi obyek rasa kagum dipicu juga oleh kerja-kerja modus
identifikasi.
“Aku”
adalah Penanda Utama
Hal ini berkaitan erat dengan daya interpelasi dan
strukturasi Master
Signifier tatanan simbolik. Lacan menyebut penanda utama ini
sebagai penanda pembawa identitas. Identifikasi subyek pada otoritas penanda
utama membangkitkan hasrat menjadi obyek “yang
diinginkan” penanda utama tersebut. Relasi penandaan yang bekerja
pada otoritas tatanan simbolik penanda utama adalah hubungan Paradigmatik.
Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda yang
lain. Tanda yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu
kelas atau satu sistem. Kata “perempuan” mempunyai hubungan paradigmatik dengan
misalnya “cantik”, “lemah-lembut”, dan”feminin”. Interpelasi subyek oleh
penanda utama membangkitkan hasrat mengidentifikasi diri dengan tanda satu
kelas atau satu sistem dalam struktur paradigmatik penanda utama. Hubungan
paradigmatik selanjutnya membawa pada asosiasi mental yang disebut dengan hubungan metaforik. Hubungan metaforik muncul
karena dengan adanya kekuatan represi suatu penanda diganti dengan penanda
baru. Penanda pertama akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti
menempati kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya. Imajinasi
asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju
posisi dan mengidentifikas ciri, karakter, status, dan imaji yang terhubung
dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya.
Metafor bekerja atas dasar hubungan paradigmatik dan menggunakan tanda tingkat
pertama yang sudah mapan atau yang dianggap menghadirkan nilai.
Tetapi relasi pemaknaan dalam kedua model diatas
(paradigmatik/metaphor) tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba. Dengan kata
lain tidak ada hubungan signifikansi antar penanda tanpa adanya daya penggerak
yang berasal dari alam tak sadar. Menurut Lacan hubungan metaforik muncul dan
menjadi lebih kuat ketika terkait dengan hubungan signifier
yang masih berada dalam status unconsious.
Struktur tak sadar yang sesungguhnya mempengaruhi kesadaran berbahasa disebut
Lacan sebagai condensation.
Kondensasi merupakan istilah yang digunakan Freud untuk menjelaskan kondisi
psikologis tertentu. Tetapi konsep ini bagi Lacan adalah pemampatan atau
penumpukan bahasa di alam tak sadar yang kelak akan memunculkan hubungan
pemaknaan pada level methapor. Makna yang dihadirkan oleh methaphor tidak
dicari dalam relasi pergantian tanda oleh tanda lain. Artinya, penanda
pengganti tidak dapat menghadirkan makna dari dalam dirinya sendiri. Jika
Sausure mengatakan bahwa makna muncul karena adanya hubungan antara penanda dan
petanda, bagi Lacan makna tidak dapat dicari dari relasi semacam ini.
Kondensasi di alam tak sadarlah yang akhirnya menghadirkan signifikansi baik
pada level paradigmatik maupun mataphor.
“Aku” dan
Citra-an
Tatanan imajiner adalah tahap dimana
diri mulai dibentuk. Pembentukan awal ini menjadi dasar yang mengkonstitusi
bahwa pada akhirnya semua yang diserap adalah citra. Kaitanya dengan tatanan
simbolik, citra menyiapkan pondasi kukuh di atas mana tatanan simbolik bekerja
dalam diri seseorang. Citra tidak menjadi citra tanpa strukturasi dunia
simbolik didalamnya. Citra atau pesona yang dikirim
oleh pribadi liyan menyerap subyek kearahnya sampai pada tingkat subyek
mencintai, mengagumi, pendeknya subyek menghasrati liyan. Citra kemudian
disebut dimensi eksternal atau cermin yang menginterpelasi subyek. Selanjutnya,
cara ini tidak dapat bekerja secara sempurna tanpa dorongan yang menghasarati
untuk dikagumi oleh liyan.
Dihasrati-menghasrati atau menghasrati-dihasrati,
keduanya bekerja secara simultan dan berbarengan. Namun dorongan itu tidak
hanya terhenti pada obyek-subyek. Artinya, hasrat subyek tidak kemudian selesai
pada liyan itu sendiri. Subyek pun tak puas hanya ketika ia jadi obyek
(kekaguman, idola, cinta, dsb). Dalam hal ini keduanya sama-sama bergerak
menuju hasrat masing-masing. Menghasrati atau upaya memenuhinya tak mungkin
tanpa melalui hasrat liyan. Itulah sebabnya Lacan mengatakan bahwa hasrat
terutama adalah hasrat pada liyan. Jika relasi penandaan yang bekerja pada level
tatanan simbolik adalah relasi paradigmatik, dalam dunia citra pada tatanan
imajiner ini hubungan sintagmatik
berperan dan melengkapi kesadaran subyek. Hubungan sintagmatik dimengerti
sebagai hubungan tanda dengan tanda-tanda lainya. Dalam hubungan
sintagmatik orang diajak untuk mengimajinasi ke depan atau memprediksi apa yang
akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau
sebab akibat.
Kesadaran sintagmatik bertujuan untuk menciptakan
stuktur dengan jalan mengkombinasikan unsur yang ada. Oleh karena itu
identifikasi individu pada liyan tidak cukup hanya melalui hubungan penandaan
yang bersifat paradigmatik saja melainkan harus disertai juga oleh hubungan
sitagmatik. Sehingga, identifikasi simbolik melalui penanda utama berjalan
seiring dan bekerja bersama dengan identifikasi imajiner melalui citra. Mengasosiasikan (pardigmatik) sekaligus mengkombinasikan (sintagmatik). Asosiasi yang
mucul dari penanda utama “laki-laki” (kuat, jantan, maskulin, macho) akan
terasa janggal dan tertahan ketika tidak meyertakan kombinasi yang sempurna.
Misalnya, dalam kalimat “Jari-jari lentik lelaki itu bergerak lemah gemulai”.
Kalau pada relasi paradigamatik menggunakan metaphor, relasi sintagmatik lebih
dekat kepada metonimi.
Metonimi muncul sejauh ada satu signifier utama
yang menyatukan seluruh hubungan signifier
yang maih terapung dalam ketidakpastian menjadi satu keutuhan.
Hanya setelah berada dibabwah “komando” signifier utama
makna yang berada dialam tak sadar naik ke tingkat kesadaran. Adgium lacan
mengatakan bahwa ketaksadaran terstruktur seperti bahasa. Dengan kata lain
kesadaran berbahasa dikendalikan oleh struktur bahasa di alam ketaksadaran. Relasi
penandaan pada bentuk sintagmatik tidak muncul dari hubungan antara tanda
dengan tanda-tanda lain dalam dirinya sendiri. Melainkan, ia dipengaruhi apa
yang oleh Freud disebut dengan displacement.
Metonimi terkait dengan cara penanda-penanda terhubung dengan penanda lain
membentuk rantai penandaan yang memberikan jalur tempat bekerjanya identifikasi
dan hasrat.
“Aku”
dan Fantasi
Fantasi berada pada lavel Yang Real. Ia menyebutnya
obyek a. sebuah obyek yang berharga
atau bahan yang terkait dengan yang real. Dorongan ini tersusun dari yang real
dari tubuh seorang subyek melalu rantai penanda tidak sadar yang dibentuk oleh
tuntutan liyan yang berlangsung simbolik. Hal ini terjadi misalnya ketika kita
mengidentifikasikan diri dengan penanda-penanda utama (laki-laki, perempuan,
muslim, dsb) demi strukturasi dan interpelasi penanda tersebut dan demi
kenyaman eksisitensial kita membedah diri kita dan mematikan bagian-bagianya.
Bersamaan dengan itu munculah larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak
penanda simbolik. Meskipun demikian, kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan
dan tampil dalam berbagai bentuk. Modus-modus hasrat yang direpresi ini
tertanam dalam diri subyek membentuk fantasi yang memberikan hasrat terhadap
rasa suka cita.
Pada analisis Lacan selanjutnya, dalam proses terapi
psikoanalisis obyek a atau fantasi
menjadi faktor penting dalam upaya membalik tatanan simbolik menuju ego ideal
dan perubahan tata simbolik baru. Pasien atau yang dianalisis diajak untuk
membuat pemisahan antara dirinya dengan kehendak penanda utama yang tak mampu
diadaptasinya, kemudian ia akan melihat kembali apa yang tersisa oleh represi
tatanan simbolik. Dan selanjutnya, ia melihat fantasinya atau obyek a yang tertanam dan bersembunyi didalam yang real.
III.2.
Sexual Addiction Disorder
Kecanduan
seksual merujuk pada sebuah fenomena saat individu
tidak mampu mengelola perilaku seksual mereka. Hal ini juga disebut "ketergantungan seksual,"
dan "Sexual compulsivity". Para seksologi percaya
bahwa sexual addiction merupakan
suatu penyakit atau kelainan dan bukan merupakan produk dari budaya dan
pengaruh-pengaruh lain. Belum ada kesepakatan apapun dalam mendefinisikan kecanduan
seksual Beberapa ahli percaya bahwa kecanduan seksual sama dengan kecanduan
alkohol atau obat-obatan. Pakar-pakar lain percaya bahwa kecanduan seksual
sebenarnya adalah bentuk obsesif kompulsif dan menyebutnya sebagai compulsivity
seksual.
Namun ahli lainnya percaya bahwa kecanduan
seksual justru merupakan sebuah produk budaya dan berasal dari pengaruh luar.
Irons dan Schneider mencatat bahwa kelainan kecanduan seksual bukan merupakan DSM-IV
(disorder) seperti dalam hal ketergantungan
zat adiktif. Lowinson mengungkapkan kecanduan seksual merupakan suatu kondisi
di mana beberapa bentuk perilaku seksual memiliki sebuah pola yang dicirikan setidaknya
oleh dua fitur kunci, yaitu selalu gagal dalam mengontrol perilaku dan melanjutkan
perilaku meskipun ada konsekuensinya.
Pecandu sering menampilkan ciri narsistik. Menurut
buku Sinopsis of Psychiatry, pecandu seks tidak mampu mengendalikan dorongan
seksual, yang dapat melibatkan seluruh spektrum fantasi seksual atau perilaku. Akhirnya, kebutuhan
untuk aktivitas seksual meningkat, dan perilaku seseorang semata-mata didorong
oleh keinginan terus-menerus mengalami hubungan seks dan biasanya mengungkap
sejarah lama pola perilaku seperti itu, orang yang berulang kali telah mencoba
untuk berhenti, namun tidak berhasil.
Sexual addiction merupakan masalah yang terus tumbuh
dalam masyarakat saat ini. secara umum, kelainan seksual dibagi dalam banyak
tingkat dan bentuk. hal ini dikenal sebagai DSM-IV atau dikenal jugfa sebagai
Paraphilia, yang memiliki banyak bentuk penyimpangan seksual (Wedding,
2005:94-103):
- Fetishims
- Transvetic fetishism
- Pedopilia
- Exhibitionism
- Voyeurism
- Sexual masochism
- Sexual sadism
- Frotteurism
- Telephone scatalogia
III.3. “Love” dalam Perspektif Psikologi dan
Sosial
Robert Sternberg mencoba menjabarkan cinta dalam konteks
hubungan antara dua orang. Psikologi menggambarkan cinta sebagai sebuah
fenomena kognitif dan sosial. Menurut
Sternberg, cinta adalah sebuah kisah yang merefleksikan kepribadian, minat dan
perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan
kekuasaan, misteri, permainan, dsb. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario”
yang sudah dikenalnya, apakah dari orang tua, pengalaman, cerita, dsb. Kisah
ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam
sebuah hubungan. Sternberg terkenal dengan teorinya tentang
“Segitiga Cinta”. Segitiga cinta itu mengandung komponen : Keintiman (Intimacy),Gairah (Passion) dan Komitmen.
Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat
kehangatan, kepercayaan (trust), dan keinginan untuk membina hubungan.
Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang
bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak
bertemu. Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari
dalam diri yang bersifat seksual. Komitmen adalah elemen kognitif, berupa
keputusan untuk secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama.
Menurut Sternberg, setiap komponen itu pada tiap-tiap orang berbeda derajatnya.
Ada yang hanya
tinggi di gairah, tapi rendah pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah
apabila ketiga komitmen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu
tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen
keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar (dalam
beberapa budaya) harus disertai dengan komitmen yang lebih besar, misalnya
melalui perkawinan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya,
pada hubungan cinta seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri
mulai dari masa kanak-kanak. Bagaimana orang tuanya saling mengekspresikan
perasaan cinta mereka. Hubungan awal dengan teman-teman dekat, kisah-kisah
romantis sampai yang horor, dsb. akan membekas dan mempengaruhi seseorang dalam
berhubungan. Perkembangan lebih jauh adalah teori
elektrik (misalnya dalam Hukum Coulomb) yang menunjukkan bahwa partikel positif
dan negatif saling menarik, yang kemudian dianalogikan dalam perkembangan
kehidupan manusia, seperti "ketertarikan berlawanan" (opposites attract).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar