Pembahasan
III.1.
Psikoanalisa Karakter Film“Love at time
of Cholera”
Dunia real dipahami sebagai sebuah kondisi dimana tidak
ada kehilangan dan ketiadaan, tidak ada kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi.
Yang Real adalah suatu alam yang tak pernah dapat digambarkan karena sejak
manusia dilempar kedunia dan merasakan ide tentang “diri” dan “liyan” kondisi
ini tidak pernah dapat direngkuhnya kembali”. Momen kehilangan merupakan titik
awal dimana bayi memiliki kesadaran ‘diri’ dan ‘liyan’, antara dia sebagai
oknum utuh yang berdiri sendiri dan liyan yang juga adalah oknum lain yang
mandiri. Kehilangan melahirkan kecemasan. Inilah yang memaksanya melihat
dirinya sebagai satu individu lain yang utuh dan berbeda.
Lacan menjelaskan tentang fase cermin yang penting
dimana bayi melihat pada pantulan cermin bahwa dia adalah kesatuan tersendiri
yang berbeda sekaligus sama dengan orang lain. Saat bayi menyebut citraan itu
sebagai” Aku” saat itulah ia masuk ke dalam struktur tatanan simbolik
yang memliki aturan-aturan yang harus dipatuhinya seumur hidup”. Tetapi citra dalam cermin yang disebutnya
“Aku” bukanlah dirinya yang sesungguhnya melainkan struktur imajiner yang mau tidak mau diakuinya sebagi identitas
dirinya. Alasanya sangat sederhana, karena individu membutuhkan organisasi diri
yang mapan sebagai modal menempuh kehidupan dan membedakan dirinya dengan orang
lain. Lacan menyebutkan bahwa citra dicermin itu adalah liyan.
Yang juga termasuk liyan, menurut Lacan,
adalah ide tentang diri kita atau, dalam kasus bayi, ide tentang diri bayi itu
sendiri. Dengan demikian maka bayi mengenal dirinya melalui liyan yang adalah
citra yang muncul pada cermin. Factor penting yang mendorong bayi mau tidak mau
mengakui citraan imajiner itu sebagi dirinya adalah hasarat untk memiliki
identitas. Itulah sebanya Lacan tidak melihat identitas sebagai ”Identity” yaitu sesuatu yang mapan,
utuh, dan tidak retak. Tetapi ia menyebutnya “I-dentity”, aku dan identitas. Inilah yang disebut dengan tahap permintaan
akan identitas yang imajiner.
film
ini melalui fase yang disebut Lacan sebagai tahap Real dan Imajiner tersebut.
sorotan khusus dapat lakukan pada tokoh Florentino, yang merupakan tokoh
sentral dalam film love at time of cholera. Florentino adalah pribadi yang
nyaman dalam hidup dan kuasanya sendiri hingga akhirnya bertemu dengan Liyan
(others). hal ini dikonotasikan dengan sosok perempuan lain selain ibunya, yang
kemudian merusak tatanan dirinya menjadi fase-fase pengembangan pribadi yang
lebih jauh. bertemu dengan sesuatu yang lain selain diri dan ibunya membuat
florentino mengidentifikasi diri dengan objek lain tersebut. ia kemudian
menemukan berbagai hal yang menjadi cermin diri dan kemudian menimbulkan
Hasrat. hasrat ini kemudian menjadi
suatu kekuatan untuk menjadi “sesuatu” dan berusaha menguasai tatanan simbolik,
hukum sang ayah dan Phallus.
“Ketundukan
pada aturan-aturan bahasa itu-Hukum Sang Ayah- diperlukan untuk
memasuki tatanan symbolic. Kebutuhan akan rasa aman dan nyaman social dipenuhi
oleh identifikasi dirinya dengan struktur social yang lebih luas. Hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor kesamaan antara dirinya dan lingkungan sosialnya.
Masuknya individu kedalam sebuah kelompok pertama-tama diinterpelasi oleh hukum
dan aturan bahasa yang harus dipatuhinya untuk memenuhi hasrat menjadi pusat
tatanan symbolic.”
Proses identifikasi dalam diri
florentino terus berlanjut saat interaksi dengan lingkungannnya di perluas.
setelah mengidentifikasi diri dengan tokoh pengganti ibu, ia juga
mengidentifikasi diri dengan tokoh disekitar objek pengganti tersebut. dalam
kelanjutannya setiap proses mengidentifikasi selalu memunculkan hasrat. indentifikasi
pertama adalah terhadap Dr Urbino, yang menjadi saingannnya dalam kehidupan
percintaan. Ia mengidentifikasi Urbino sebagai sosok laki-laki ideal yang
berbeda jauh darinya. kesuksesan Urbino kemudian menimbulkan hasrat dirinya
untuk turut berhasil dalam kehidupan sosial dan ekonomi. ia kemudiamn mencari
identifikasi terdekat dari tatanan sosialnya, yaitu tokoh paman (karena ia tak
mengenal tokoh ayah). Sang paman menjadi objek identifikasi kedua, dan merasa
ingin menjadi seperti sang pamkan. ia kemudian berusaha mewujudkannya dengan
bekerja dengan sang paman hingga akhirnya mencapai kematangan secara finansial
dan emosional.
Hasrat untuk menjadi bekerja dalam bentuk identifikasi.
Dari paparan ini seolah-olah tampak bahwa hasrat merupakan daya dorong
munculnya identifikasi. Dengan kata lain identifikasi adalah akibat dari
hasrat. Akan tetapi Lacan menjelaskan bahwa
identifikasi juga dapat menjadi sebab dari hasrat. Jadi, hasrat untuk menjadi
obyek rasa kagum dipicu juga oleh kerja-kerja modus identifikasi.
Hal menarik dalam perkembangan
cerita film ini adalah berbagai dinamika hubungan antar tokoh yang akhirnya
mengantar masing-masing tokoh menjadi dewasa dan matang dengan cara
masing-masing. Florentino adalah tokoh yang dekat dengan ibu dan mengalami
Oedipus complex hingga sang ibu meninggal. baginya sentral diri adalah ibu.
berbeda dengan Fermina yang justru hanya memiliki ayah, dan menjadi sumber
aturan subjektif terhadap kebebasan diri.
Hasrat
Film ini dapat dikatakan penuh dengan hasrat. bukan saja
hasrat manusiawi, tetapi lebih kepada hasrat untuk menjadi dan identifikasi.
proses pemenuhan hasrat ini kemudian menjadi sangat kompleks dengan konflik
yang terjadi baik dilevel diri, sosial atau masyarakat. pertama konsep
yang dikenal sebagai Narsistik pasif, dimana Seseorang berhasrat menjadi obyek cinta (Liyan)
orang/sesuatu lain (hasrat dikagumi, idealisasi orang lain, atau
rekognisi orang lain). hal ini dialami Florentino saat mengenal Fermina daza. ia
memunculkan sisi narsistik pasif, dan berharap Fermina dapat menyukainya,
padahal dia belum melakukan tindakan apapun. hal ini menunjukan bahwa saat
jatuh cinta, akan muncul sebuah peresaan untuk diinginkan, diharapkan, dan
dibutuhkan dalam diri seseorang, sebalum akhirnya subjek berani untuk mendekat
kepada yang lain.
Kedua, dikenal sebagai Narsistik aktif dimana Seseorang berhasrat
menjadi orang lain. Identifikasi diri pada orang lain (Liyan) adalah cinta atau
devosi pada sesuatu yang lain. hasrat ini muncul saat Florentino
mengidentifikasi diri dengan tokoh Urbino yang memunculkan keinginan untuk
akhirnya menyerupai. namun karena hubungan yang jauh, ia mengalihkannnya pada
contoh terdekat yaiatu sang paman yang juga merupakan oraqng sukses. hasrat ingin
menjadi ini merupakan usaha Florentino untuk meraih object petit a.
Ketiga, adalah Anaklitik aktif. Hasrat ini merupakan keinginan untuk memiliki orang/sesuatu (Liyan)
sebagai cara mendapat kepuasan. hal ini dialami Florentino dalam beberapa fase.
pertama hasrat memiliki Fermina, dan berharap memperoleh kepuasan pengganti
dalam kehidupannya. kedua hasrat memiliki harta, tahta, jabatan, sebagai
pengganti ketidakmampuan memperoleh Fermina (objek pertama). ketiga adalah
serangkaian hubungan terlarangnya dengan 622 wanita selama 50 tahun lebih.
disini Florentino diidentifikasi sebagaiorang yang ingin memilki permpuan untuk
menjadi objek pengganti dan memperoleh kesenangan atas kekecewaannya terhadap
objek pertama.
Keempat adalah Anaklitik pasif, yaitu Hasrat
ingin dimiliki Liyan (orang lain atau sesuatu yang lain) sebagai sumber
kepuasan liyan. hal ini sangat jelas dalam setiap aksi seksualnya bersama para
wanita disetiap moment hubungannya dengan wanita. pertama kali melakukan
hubungan seksualitas dengan wanita, Florentino berada dalam kategori Anaklitik
Pasif, hingga akhirnya terus berkembang dan menjadi semakin aktif dan
memunculkan sisi narsistik diri.
III.2.
Dinamika Hubungan Antar Pemain dalam perspektif Psikoanalisa
Film love at time of cholera memiliki
lapisan makna hubungan yang sangat mendalam, sebab film ini merupakan film
berkategori drama yang ide ceritanya sangat wajar dan ditemukan dalam realitas
kehidupan sehari hari. hubungan ini tidak terbatas hanya pada hubungan
percintaan tetapi juga hubungan antar manusia dan antar anggota keluarga yang
menjadi isu sentral dalam membangun kisah dalam film. berbagai dinamika
hubungan antar manusia dalam film ini dapat dilihat sebagai berikut :
Hubungan Ibu-Anak (Anak laki-laki (Florentino Ariza) dan tokoh ibu (Transito
Ariza))
Lacan menjelaskan hubungan Ibu dan Anak sebagai suatu
hubungan yang sangat erat dan saling melengkapi. dalam proses pendewasaan anak
akan terpisah secara perlahan dari ibu dan masuk pada aturan sang ayah atau
yang dikenal dengan aturan sosial dan hukum di masyarakat. film ini sangat
menekankan aspek hubungan orang tua dan anak, terutama antara florentino dan
tokoh Ibu, Transito Ariza. Ibu mencitrakan sosok perempuan yang selalu menjadi
tempat anak berkeluh kesah tentang semua permasalahannya. Florentino dapat
dikatakan sebagai tokoh yang mengalami masa Oedipus yang cukup panjang dan
sulit terlepas dari perngaruh dan sentuhan tokoh ibu.
ada beberapa hal yang menunjukan
besarnya pengaruh dan ketergantungan Florentino terhadap ibu. pertama, saat
mulai mengenal perempuan lain selain ibunya, Florentino yang tengah kasmaran
meluapkan kegembiraan sekaligus ketakutannya tentang sosok perempuan lain
tersebut kepada sang ibu. secara tak langsung ia cenderung mencari kesamaan dan
kemiripan sikap perempuan yang ditemuinya dengan sosok ibu dan sekaligus
meminta persetujuan tokoh ibu. kedua, adalah saat Florentino mengalami patah
hati perempuan selain ibunya tersebut menikah dengan orang lain. ia kembali ke
tokoh ibu dan menjadi kembali seperti anak kecil yang tidak mau terlepas dari
ibu. ibu, bagi tokoh Florentino adalah sentral dirinya, dan menjadi tempat
berkeluhkesahnya. hal ini terus berlanjut bahkan hingga Florentino menginjak
usia 40an. ia masih belum bisa lepas dengan penuh dari ketergantungan terhadap
ibu. dapat dikatakan masa oedipus complex yang dialami seorang
Florentino Ariza amat sangat panjang dan menetap dalam pribadinya, hingga usia
yang sudah sangat matang.
hal ini dapat dikategorikan sebagai
kehilangan atau belum ditemukannya identitas dirinya oleh tokoh Florentino. ia
tidak memiliki contoh selain ibu yang cukup dekat dengan hidupnya, sebab sejak
kecil ia tidak menbgenal sosok ayah. dalam film diceritakan Ayah florentino
meninggal saat ia masih sangat kecil, dan digambarkan bahwa ayahnya adalah
sosok yang tidak baik dan menyesangrakan ia dan ibunya.
tokoh
ibu, dicitrakan sebagai figur yang baik dan berusaha memenuhi kebutuhan
anaknya, tidak saja dari materi, tetapi juga dalam proses pencarian identitas
diri bahkan identitas seksual. saat sifat rapuh tokoh Florentino muncul, ibu
menjadi pendorong untuk menjadikan anaknya sebagai orang yang sukses dan
berusaha agar anaknya menjadi setara secara sosial dengan kaum terpandang
lainnya. tokoh ibu lah yang mengemis memohon agar Florentino diberi pekerjaan
yang layak dan terpandang. begitu pula saat krisis kepercayaan diri Florentino
muncul (yang lagi-lagi deisebabkan masalah percintaanya), tokoh ibu kembali
berperan dalam mengembalikan kepercayaan dirinya dan memperkenalkan seks dengan
cara yang cukup radikal. dengan niat agar Florentino melupakan Fermina Daza, ia
sengaja mengurung anaknya dengan seorang janda dalam sebuah kamar. hal ini menunjukan sebuah kekhawatiran, anmun
berdampak Florentino menjadi pecandu seks, sebab tokoh ibu membenarkan hal
tersebut. akibat kedekatannya dengan ibu, hal tersebutpun dinilai sebagai hal
yang wajar bagi Florentino.
Hubungan Anak-Ayah (Anak perempuan (Fermina Daza) dan tokoh Ayah (Lorenzo
Daza))
Film ini menempatkan tokoh ayah sebagai peran
antagonis. karakter “Ayah” dalam film ini menunjukan lambang kekuasaan atas
tatanan aturan dan hukum keputusan. dinamika hubungan anak ayah terjadi terhadap
tokoh perempuan yaitu Fermina Daza. Fermina hidup hanya bersama ayah, tapa
didampingi tokoh ibu. seperti halnya Florentino, Fermina kehilangan sosok ibu
diwaktu masih sangat kecil. Ayah menjadi pusat tatanan dominasi atas sang anak.
dalam film ini diperlihatkan bagaimana ketundukan anak terhadap ayah, dan ayah
adalah pengambil keputusan atas semua hal.
dalam Psikoanalisis yang dikemukakan
lacan, hukum sang ayah, yang disebut sebagai hukum bahasa, aturan, dan segala
sesuatau yang bersifat mengekang kebebasan diri dinilai sebagai suatu yang
mencoba membatasi diri dari dunia agar tidak terjadinya chaos. namun perspektif peraturan sang ayah, saat diterapkan dalam
film ini menjadi bentuk aturan yang sangat mengekang kebebasan individu, dan
cenderung dianggap bukan sebagai sesuatu yang baik. hal ini terlihat dari usaha tokoh ayah yang
ingin menjadi pusat tatanan simbolik dari semua dinamika yang terjadi
disekitarnya, termasuk dengan permasalahan individu anak. hal ini menunjukan
bahwa ayah, dalam film ini sebagai sososk yang kebalikan dari tokoh ibu.
Bila melihat dua karakter utama ini
terbentuk, Florentino dengan kedekatannya terhadap tokoh Ibu, cenderung tumbuh
menjadi individu yang mengadopsi sifat feminis, rapuh, gampang menangis dan
terluka dan sangat terobsesi pada hal hal feminis. ia juga menjadi objek pasif
dalam menghadapi persoalannya dan tak mampu bertindak dnegan tegas dan
mengingkari simbol alamiah anak laki-laki yang dipahami secara sosial. sebaliknya, Fermina yang dibesarkan tokoh
Ayah, justru menjadi perempuan maskulin, tidak pernah digambarkan menangis
sekalipun, bahkan saat ia dikhianati dan ditinggalkan suaminya. Fermina,
seperti mengadopsi sifat maskulinitas tokoh ayah, justru tumbuh menjadi
perempuan yang cenderung ingin menjadi pusat aturan dan aktif.
Hubungan Suami-Istri, laki-laki dan perempuan
Hubungan antara laki-laki dan
perempuan merupakan hubungan yang sangat kompleks. sebelum menjadi suami istri,
laki-laki dan perempuan mengalami hubungan percintaan yang dalam bahasa
populernya di sebut sebagai PDKT. Masa ini disebut sebagai masa pengenalan,
yang dalam bahasa Lacan dikenal sebagai proses identifikasi diri dan orang
lain. hal ini bertujuan untuk mencari benang merah kesamaan konsep diri yang
akan menentukan arah hubungan selanjutnya.
Kecenderungan saat seorang anak bisa
mengenal dirinya adalah ia akan mulai mengidentifikasi sesuatu Yang Lain
(others) selain dirinya. identifikasi
ini sebenarnya sudah dimulai sejak ia mengenal orang lain selain dirinya,
seperti ibu, ayah, saudara, atau anggota keluarga lainnya. proses ini terus
berlanjut hingga dewasa dan berkembang lebih luas dalam mengidentifikasi lawan
jenis.
Film ini sangat kaya dalam
menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan dari berbagai sudut pandang.
mulai dari pandangan subjektif, objektif, hingga pandangan sosial dan budaya.
dalam film ini disetujui bahwa hukumk pernikahan merupakan hukum sosial yang
wajib dijalani dalam hubungan laki-laki dan perempuan. hal ini, oleh Fermina
Daza dilaksanakan dengan patuh dan taat saat ia akhirnya menikah dnegan Dr
Urbino. namun selain hukum legal ada hubungan lainyang tidak legal namun tetap
dilaksanakan dan menjadi simbol kekuasaan laki-laki (patrilineal) dalam film
ini, yaitu perselingkuhan. perselingkuhan mewarnai setiap jalan cerita dalam
film ini. pertama saat Dr Urbino (suami Fermina Daza) berselingkuh ditengah
pernikahan mereka, walaupun akhirnya semua kembali seperti semuala. kedua
adalah yang dialami Florentino Ariza, yang berselingkuh dengan istri seorang
tukang kayu, yang membuat si tukang kayu marah besar hingga membunuh istrinya tersebut
Namun, disamping hukum pernikahan laki-laki dan
perempuan yang legal, akhir film ini justru tidak bermuara pada titik aturan
tersebut. akhir kisah ini menceritakan
kembali bersatunya Florentino dan Fermina, namun bukan dalam sebuah ikatan
pernikahan, namun dalam sebuah kekuasaan ‘Phallus”.
mereka kembali bersama saat usia telah mencapai 80an sehingga hukum pernikahan
bukan menjadi kewajiban lagi bagi mereka.
Hubungan
lawan jenis yang menarik seperti yang dialami oleh Florentino Ariza bersama 662
perempuan yang ditemuinya selama masa penantiannya terhadap Fermina. hubungan
yang terjalin merupakan hubungan yang hanya berdasarkan hasrat badaniah, namun
ia memiliki banyak pelajaran dari hal tersebut. beragam manusia dan tipe
perempuan dikenalnya melalui hubungan yang menentang aturan sosial masyarakat
tentang pernikahan. hal ini dapat dilihat pada poin ketergantungan seksual
Florentino dalam Film ini.
Hubungan keponakan-Paman
Hubungan ini terjadi anatara
florentino dengan pamannya, Don Leo. Don Leo merupakan orang terkenal dan
pengusaha kaya. tokoh paman, adalah tokoh identifikasi kedua bagi Florentino
setelah ibunya. dengan semua kegagalan yang dialaminya, Florentino berusaha
mengidentifikasi dan mencapai penyamaan diri dengan tokoh Don Leo, dengan
berfikir bahwa kekuasaan akan memberikan kesenangan lain baginya (Object petit a). bahkan walaupun ia
harus menderita karena cintanya pada Fermina, tapi dengan harta dan kekayaan ia
dapat meraih apapun yang diinginkannya. bahkan keyakinannya bahawa uangpun
dapat mengembalikan ‘barang’ yang diinginkannya yaitu cinta Fermina.
Florentino menjadikan paman sebagai
sentral dalam usahanya mencapai keberhasilan. hal ini terjadi setelah
sebalumnya Florentino merasa tersaingi dengan Dr Urbino yang sukses dalam
karir, sosial dan ekonominya, hingga ada upaya dirinya untuk mejadi seperti Dr
Urbini. namun ia tidak memiliki figur yang dapat menjadi panutan, selain
pamannya sendiri yang merupakan saudara dari ayahnya yang telah meninggal, yang
selalu membantu keluarganya secara finansial.
Hubungan Keponakan-Bibi
Hubungan yang terbangun antara
keponakan dan bibi, terjadi terhadap tokoh Fermina dengan bibinya Escolástica.
dalam hal ini sang bibi mengambil peran sebagai ibu kedua bagi fermina, dan
dengan sifat keibuan, menjadi pelindung fermina dari tokoh Ayah. Escolástica
sendiri merupakan adik ayahnya yang hidup bersama mereka sejak kecil sekaligus
menjadi ibu asuh dan penjaga Fermina. namun, seperti halnya penggambaran tokoh
ibu lainnya, perempuan ini juga digambarkan sebagai manusia yang kompromis dan
selalu mengikuti kehendak Fermina. Ia berfungsi sebagai penghubung anatara
fermina dan florentino. Escolástica tidak melarang hubungan tersebut dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang indah, dan bahkan menyarankan untuk menikah.
namun akhirnya, kuasa sang ayah tetap mematahkan keyakinan tersebut. Escolástica
akhirnya diusir dari rumah karena dianggap lalai dalam menjaga fermina.
secara umum dalam film ini berusa
ditampilakan peran pengganati tokoh utama dalam lingkup terkecil kehidupan
seorang anak. Florentino yang tidak memiliki ayah, mengidentifikasi diri
seperti pamannya sendiri, yang merupakan tokoh laki-laki terdekat dalam
kehidupannya. begitu juga Fermina, yang tidak memiliki ibu, mengadopsi nilai
feminis dan menjadikan bibinya sebagai tempat berlindung dari tokoh ayah yang
diperankan secara antagonis dalam film.
Hubungan Antar Sepupu
Hubungan ini merupakan hubungan
setara, dan identifikasi dapat dilakukan secara imajiner antara satu tokoh
dengan tokoh lainnya. hubungan anatara Fermina dnegan Sepupunya Hildebranda,
adalaha hubungan yang penuh saling pembelajaran. hal ini semakin dekat, karena
Fermina tidak memiliki kedekatan dengan perempuan lain selain bibinya yang
menjadi pengganti ibu. Hubungan antar sepupu bisasnya dapat dikatakan sebagai
hubungan sesama saudara dan teman.
Identifikasi juga berlaku dalam
hubungan setingkat seperti ini. Fermina
Daza selalu mencoba menemukan pembenarn pendapat atas tindakannya dari tokoh
Hildebranda. hal ini disebabkan proses
identifikasi yang sangat dekat dengan dirinya, dan sangat menyerupai dirinya. hal
ini terus berlanjut saat keduanya semakin dewasa. Fermina menemukan Identifikasi
diri yang menyimpang, saat tokoh Hildebranda akhirnya tak menemukan apa yang
dicarinya dalam hidupnya, hingga Fermina berhasil mencapai identitas sempurna
dalam dirinya.
III.3.
Analisa Sexual Disorder terhadap
tokoh Florentino Ariza
Seksual disorder memiliki berbagai
macam bentuk. dalam kasus film ini seksual disorder terjadi karena latar
belakang psikologis dan sosial yang memposisikan Florentino sebagai yang
“terkalahkan” alam perjuangan cintanya. ia kemudian memilih tidak akan menikah dan akan
menjaga keperjakaannya hingga nanti bertemu lagi dengan Fermina. namun semuanya berubah dratis. ia kemudian
menjadi pecandu seks dan membukukan seluruh petualangan seksualnya hingga
berjumlah 622 perempuan.
Namun diakhir cerita ia tetap
membenarkan bahwa dirinya masih tetap perjaka. hal ii merupakan konotasi
terhadap perasaan cinta dihatinya, yang sesungguhnya walaupun telah tidur
dengan banyak wanita, namun hatinya tidak pernah berselingkuh.
Hal ini digambarkan dalam film
dengan sangat cepat sehingga kesalahan orientasi seksual an kecanduan yang
dimiliki Florentino terasa sebagai sesuatu yang wajar dan bukan kelainan. kemunculan
seksual disorder ini adalah sebagai objek pengganti, objek pelarian dari rasa
sakit hati, kecewa dan ketidak mampuan untuk menguasai apa yang diinginkannya.
Florentino tak mampu mengontrol dunia simbolik dan aturannya, hingga merasa
perlu membangun dunia dengan -aturan sang ayah -yang baru yang mampu
membebaskan hasrat, fantasi dan rasa kecewanya dengan cara yang dilegalkannya sendiri.
Film ini hanya menggambarkan
keberadaan Florentino dalam jelajah Seksnya bersama 4 orang perempuan. pertama,
adalah momen pengalaman seksualnya pertama kali diatas sebuah kapal bersama
seseorang yang tidak dikenalnya. dalam hal ini Florentino berada dalam posisi
pasif dan terpaksa melakukannya, namun berdampak psikologis sangat luas
terhadap diri dan identifikasi diri kedepan. tahap ini ia masih berada dalam
wilayah abu-abu. pengalaman seksual keduanya justru semakin mengukuhkan
pelarian kepercayaan dirinya terhadap perempuan. ia berhubungan dengan Nazareth, janda yang
sengaja disiapkan ibunya agar ia bisa melupakan fermina. masa ini Florentino
kemudian berhasil memenuhi kesadarannya dengan prilaku seksual menyimpang
sebagai sebuah pelarian sakit hati.
sejak saat ini ia mulai berpetualang
bersama berbagai macam wanita. pengalaman lain yang ditemui Florentino saat
bersama tokoh Sara Noriega, yang kemudia mengajarkannya tentang pembagian fisik
dan non fisik dari cinta. Florentino kemudian memaknai kembali dan semakin
membenarkan bahwa apa yang dilakukan bukan sebagai sebuah kesalahan atau bentuk
penyimpangan dari hukum dan aturan sosial. pertengan jalan, Florentino
mengalami sedikit gincangan keyakinan kembaali, dan berfikir apakah yang
dilakukannya benar atau salah. hal tersebut terjadi saat hubungan percintaannya
dengan Olimia Zuletha diketahui sang suami yang berakhir dengan pembunuhan
karena kecemburuan suaminya.
III.4.
Metafora visual film “Love at time of
Cholera”
Metafor adalah sebuah gaya bahasa film yang
cukup menarik untuk diperhatikan. Terdapat hubungan anatara suatu simbol dengan
konotasi secara kognitif, sosial ataupun subjektif dari sebuah metafora. film
ini berisikan sangat banyak metafora, sebab film dengan genre percintaan dan
romantika drama, selalu membawa bumbu dramatis dan perumpamaan.
Sungai,
Gunung dan Kapal
Film ini sangat sering menggambarkan
aliran sungai sebagai pengisi jeda antar konflik percintaan, atau akhir dari
sebuah penyelesaian. Sungai memiliki makna yang sangat misterius, sebaba aliran
sungai yang digambarkan adalah aliran sungai yang sangat tenang dan tak beriak.
hal ini menunjukan bahwa makna sungai
adalah makna tersembunyi, bahwa setiap jalan keluar yang muncul dari konflik
dalam film ini sangat tereduksi oleh karakter tokoh-tokoh film yang cenderung
introvet, seperti Florentino. Sungai juga bermakna sangat feminis, saat
digabungkan dengan simbol gunung (yang diibaratkan sebagai perempuan) dan kapal
(yang merupakan simbol Phallus). penggambaran ketiga unsur ini sangat banyak
dalam film Love at time of cholera. hal ini diibaratkan bahwa penggabungan
ketiga elemen ini sebagai terpenuhinya hasrat. akhir film ini juga menggunakan
perumpamaan kapal yang mengalir disela sungai menuju puncak hasratnya, dan
tidak akan kembali lagi dalam aturan aturan yang terbentuk secara sosial. hal
ini diibaratkan bahwa kapal dan anak sungai adalah perjalanan paling akhir dan
tujuan hasrat itu sendiri.
Potongan
Rambut dan Mawar
Rambut dan mawar juga mengisyaratkan
sebuah kekuatan pribadi. Rambut merupakan bagian terpenting di diri manusia dan
disebut sebagai mahkota diri. Bila seseorang telah mnyerahkan potongan
rambutnya, makna yang muncul adalah bahwa ia telah rela menyerahkan seluruh
jiwa dan raganya. Sedangkan mawar, merupakan simbol cinta dan perasaan yang
mendalam, walaupun tidak sedalam makna potongan rambut yangdiserahkan untuk
orang lain.
V.1.
Kesimpulan
Film love at time of cholera
meruapakn film yang sangat memikat dalam simbolisasi dan alur cerita. dengan
perspektif Psikoanalisa Lacan dapat dilihat dengan jelas mengenai kecenderungan
perkembangan tokoh Florentino dalam setiap tindakannya. masalah identifikasi
dan hasrat diri merupakan hal sentral didalam film. seksual disorderpun muncul,
bukan tanpa sebab. ada sebab akibat saat seseorang akhirnya menjadi mengidap
kecanduan seksual dan dalam kasus ini adalah sebagai bentuk pelarian sakit hati
dan usaha menemukan object petit a.
hal
lain yang menonjol dalam film ini adalah dinamika hubungan yang terbangun
anatar tokoh. tanpa disadari sesungguhnya hubungan tersebut terjadi dalam dunia
realitas kita. selalu ada hal yang menyebabkan semua sifat dan sikap manusia
tergantung dari cara lingkungan mendidiknya. anak laki-laki yang dibesarkan
dengan protektifitas ibu berpotensi membuat anak lambat untuk mencapai
kedewasaan dan menjadi rapuh. sebaliknya, anak perempuan yang dibesarkan dalam
tekanan ayah justru menjadi pewaris sifat maskulinitas dan mampu kuat, walaupun
ada pengingkaran diri didalamnya.
V.2.
Kritik/Saran
Secara
keseluruhan film ini cukup dapat dinikmati dengana baik. namun beberapa adegan
terkesan sangat tergesa-gesa dalam penggambarannya. selain itu sangat terasa
bahwa totalitas cerita tidak sempurna karena untuk menggambarkan kejadian yang
berlangsung selama 50 tahun dalam sebuah film, menyebabkan ada lompatan tak
logis yang mengurangi nilai historis dan makan dalam film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar