Pages Categories

10 April 2011

Ling Woo Dalam Konteks Historis

Kajian Media dan Minoritas
Ling Woo Dalam Konteks Historis
Wajah Baru Stereotype Asian-American di Televisi


Dalam media kontemporer, representasi Asia Amerika masih terbilang jarang.  Walaupun mereka meliputi 3,6% populasi di Amerika, hanya 0,8% karakter Asia Amerika di TV pada periode 1991-1992 dan 1,3% di tahun 1994-1997, dan mayoritas peran yang ditampilkan adalah sebagai peran pelengkap. Pada tahun 2000-2001 karakter Asia-Amerika mulai meningkat, namun underrepresentasi dan stereotype tetap berlaku.

Peran ini mulai terlihat saat Lucy Liu menjadi bintang orang Asia Amerika yang paling menyita perhatian publik saat ia berperan sebagai Ling Woo seorang pengacara keturunan Cina Amerika dalam serial Ally McBeal. Ia juga memasuki layar lebar sebagai salah satu tokoh sentral dalam film Charlie’s Angel.


Bila melihat penampilan Lucy Liu dalam film Payback dan Charlie’s Angel, kita dapat melihat karakter Ling Woo yang diperankannya. Karakter Ling adalah wanita asia yang kuat, berbicara dengan terbuka, memiliki pendapat sendiri dan terbuka terhadap seksualitasnya. Hal ini tidak seperti karakter wanita Asia yang baru datang di Amerika yang umumnya hanya sedikit berbicara, terutama dalam bahasa Inggris.

Ling memiliki artikulasi yang baik dalam peranyya sebagai seorang pengacara. Dan yang paling penting tokoh Ling menghancurkan stereotype “boneka keramik cina” terhadap para perempuan asia yang bersikap tunduk, lemah dan tenang/tidak banyak bicara. Ia menampilkan kecantikan perempuan asia, yang tidak berambut pirang dan  bermata biru seperti standar kecantikan kulit putih.

Karakter ini kemudian menimbulakn pertanyaan, apakah Ling benar-benar telah mematahkan stereotype tersebut atau sesungguhnya justru menguatkan mereka?  Untuk menjawab pertanyaan ini, Elaine Kim menekankan bahwa "kita harus menempatkan Ling dalam konteks sejarah, sedikitnya 100 tahun tentang sejarah sexualisasi wanita-wanita orang asia”.

Historis
Dalam rentang tahun 1840 hingga 1930an, banyak imigran yang berasal dari Cina, Jepang, Korea, Filiphin, dan India datang ke Amerika dan menjadi pekerja-pekerja murah. Hukum keimigrasian pada masa itu memperkejakan mereka dengan sementara, dapat diperjualbelikan dan dieksploiatasi, dan melarang masuknya keluarga mereka yang berasal dari Asia karena ditakutkan akan terjadi pertumbuhan yang permanen.

Resesi ekonomi kemudian menggerakan perlawanan terhadap imigran Asia. Kongres meluluskan aksi Eksklusi terhadap orang Cina pada tahun 1882, dan pada tahun 1924 menghalangi semua orang dari Asia untuk berimigrasi ke Amerika.

Sejarah imigrasi tersebut dapat membantu menjelaskan mengapa Pria Asia Amerika terlihat hingga saat ini menyimpang secara seksual, bertentangan, baik aseksual ataupun menjadi ancaman perkosaan bagi perempuan berkulit putih. Pra perang dunia II, pria asia amerika membentuk kekuatan untuk membentuk “bachelor societies” karena ketidak tersediaan perempuan dari ras mereka. Hukum anti pernikahan antar suku bangsa melarang mereka untuk menikah dengan perempuan kulit putih.

Pria cina dianggap sebagai ancaman dan memiliki ketidak disiplinan dan libido yang berbahaya. Media menjadi “piranti ideologis negara” untuk menguatkan hegemoni dan mengabadikan stereotype pria Asia Amerika dan mengaburkan kenyataan sejarah yang mencegah banyak pria Asia Amerika untuk memiliki keluarga dan terikat pernikahan sebelum perang dunia ke II. 


Dalam menampilkan pria asia amerika sebagai “orang kasim”  media membantu pandanagan masyarakat serta budaya penindasan yang tidak terlihat. Secara klise, pengkebirian stereotypes dengan memasukan karakter Charlie Chan dan Fu Manchu, sebagai lambang yang sangat berpengaruh luas selama hampir separuh abad. Karakter detektif Charlie Chan, dikembangkan novelis Earl Derr Biggers pada tahun 1925-1932 dan menjadi film di televisi pada tahun 1981.

Pelemahan pria asia amerika berlangsung hingga saat ini dalam bentuk “anak remaja Asia Amerika yang jenius dalam matematika dan brilian sebagai ilmuan bagi mereka yang menggunakanbahasa inggris”. Kung Fu selalu dimainkan oleh aktor cina seperti Jet Lee dan Jacky Chan, dapat melakukan berbagai tendangan, tapi hampir tidak pernah memerankan peran yang penuh kasih dan romantis.

Namun stereotype perempuan Asia Amerika justru berbeda. Bila pria digambarkan aseksual, anak perempuannya digambarkan sebagai hyperseksual. Hal ini berakar dari praktek-praktek imigrasi. Saat pria asia amerika tidak diizinkan untuk menikah dan membentuk keluarga, mereka mencari penyaluran seksual dari rumah pelacuran. Diperkirakan pada tahun 1870, 61% dari 3.536 perempuan cina di California menjadi pelacur.

Stereotype perempuan asia sebagai hyper seks kemudian dalam buday populer semakin diperkuat oleh militer AS yang ditempatkan dibeberpa negara asia. Mereka semakin mengembangkan persepsi perempuan asia sebagai pelacur, bargirls dan geisha. Hal ini banyak ditemui dalam penggambaran film perang Asia di masa kini. karena itu, pria asia amerika yang aseksual dan perempuan asia amerika yang hyperseksual berfungsi untuk menekankan kekuatan dan keunggulan orang orang kulit putih.

Budaya pop amerika secara umum berpusat pada dominasi pria, dan perempuan asia amerika tidak terlalu terlihat dibandingkan pria asia amerika. Aktor perempuan Asia amerika memainkan peran yang sempit. Contoh type yang dirangkum dalam perannya terdiri dari beberpa type:

type the lotus blossom baby digambarkan sebagai china doll, geisha girl, kecantikan polynesian/pemalu, feminin, pendamping,  dan sebagai seksual romantic object.
type dragon lady digambarkan sebagai perempuan yang licik, kejam, jahat, pelacur, germo, dan setan.

Peran ini dimainkan Anna May Wong dalam Thief Of Baghdad (1924). Namun kedua peran lotus dan dragon sama-sama sebagai hyperseksual, namun blossom tunduk dan pasif dan dragon sebagai sosok agresif yang membawa bahaya.

Tajima (1989) memberikan dua poin perbedaan antara hubungan karakter perempuan asia amerika dalam budaya populer dengan orang kulit putih dan dengan orang yang berasal dari ras mereka. Ia menyatakan bahwa sangat jarang ditampilkan hubungan percintaan antar perempuan dan pria asia amerika di depan layar, apalagi dengan perempuan kulit putih, sebab dapat memecahkan hegemoni pria kulit putih. 

Dalam bentuk lain memasangkan pria kulit pitih dengan perempuan oriental adalah alamiah dan merupakan akal kolonialisme, bentuk dari “pengamanan” naratif. Dominasi barat dalam narasi romantisme dan seksualitas kemudian membenarkan harta pria kulit putih adalah tubuh perempuan kulit berwarna. Hubungan romantisme antara pria kulit putih dengan perempuan asia selalu berbeda dan tergantung dengan penuh pada pengabdian dan penundukan, jiwa dan raga.

Madame Butterfly merupakan simbol feminitas oriental. Cerita ini tentang Pinkerton pegawai stasiun kelautan di nagasaki yang terlibat percintaan dengan pelacur lokal cho-cho san dan memiliki anak. Pinkerton kembali ke AS dan menikah dengan wanita kulit putih. Ia kemudian kembali ke Jepang dengan istrinya untuk mengambil anaknya dan menamabah penderitaan cho-cho san. Karena patah hati ia memutuskan untuk bunuh diri. Karakter ini banyak muncul dalam berbagai film Jepang lainnya.



Madame butterfly menyimbolkan dan membenarkan penundukan oleh dominasi patriakhi barat dalam membentuk sifat rendah diri yang dinetralkan, dedikasi tanpa pamrih dan pengorbanan
.
Ally Mc Beal
Serial Ally Mcbeal dan tokoh Ally yang dimainkan oleh Calista Flockhart, menempatkan ia sebagai bentuk postfeminist. Serial ini dipenuhi dengan tokoh pengacara muda dalam sebuah firma hukum disekitar Ally, dimana para mitra dan rekan kerja mereka membicarakan seks lebih dari pekerjaan. Pada tahun 1999 penonton serial ini mencapai 14,8 juta penonton.

Mereka dibagi melalui kritik sebagai penyuka dan tidak suka terhadap serial ini. Bellafante (1998) mengungkapkan Ally McBeal merepresentasikan “segala sesuatu tentang aku” bentuk dari feminisme. Bila tahun 60 hingga 70an feminisme sangat terpengaruh dengan perubahan sosial , maka femisnis masa sekarang meningkat pada kultur kemasyuran/celebrity dan obsesi diri.  

Shalit (1998)menyebut Ally Mc Beal sebagai “do-me feminist” yaitu berani, menarik dan mengairahkan. Ia mewaspadai hal yang muncul dari ras, kelas, dan gender, dan mengetahui bahwa feminisme aman untuk wanita-wanita yang mencintai dan bermandikan busa dan memiliki perlengkapan-perlengkapan perempuan, bahwa ideologi yang benar dan seks terbaik bukanlah saling mengeksklusifkan.

Ia menyadari dirinya cerdas, dan ambisius seperti pria, tapi teetap bangga menjadi anak perempuan yang girlish. Serial ini menggambarkan kehidupan nyata wanita yang bekerja , menginginkan kebebasan seksual, dan persamaan gender. Kebanyakan film mengangkat karakter perempuan dari pandangan maskulin, namun serial Ally justru sebaliknya.

Diluar perdebatan tentang isu gender, dalam serial ini juga dapat terlihat dimensi rasial dalam karakter Ling Woo yang berdiri diluar konteks kecantikan umum wanita blonde, tidak hanya melalui penampilannya, tapi juga dari caranya memunculkan suatu sejarah simbolis baru terhadap perempuan Asia Amerika.

Ling digambarkan sebagai perempuan asia amerika yang kuat, tidak sopan, agresif, berlidah tajam, dan manipulatif. Ia menghancurkan stereotype ‘China doll”, dia tidak pamrih dan tidak tunduk. Ia lebih seperti naga perempuan, dengan geraman-geraman seperti binatang, mengelurkan nafas api pada Ally, dan berjalan di kantornya dengan musik Witchked Witch of the west in the wizard of oz. namun yang membuat berbeda adalah pembentukan aura seksual yang sangat berbeda di sekitarnya. Pada kenyataannya produser serial ini david kelly, membangun karakter khusus untuk Lucy Liu setelah tidak berhasil memerankan peran Nell. Ling juga seksualized dan objektif terhadap dirinya sendiri. Hampir semua karakter dalam film ini sex-hungry, Ling tetap berada di luar kekusutan pilihan seksual.



Dalam saah satu adegan Ling mencium Ally sebgai scene godaan lesbian.  Konsisten dengan representasi perempuan Asia Amerika, Ling tidak pernah digambarkan menjalin hubungan dengan  pria Asia berkulit kuning, ia memiliki hubungan dnegan pria kulit putih, dan juga kulit hitam. Dalam hal ini sejarah Hollywood tetap mengkebiri pria asia amerika dan menetapkan stereotype hypersexual terhadap perempuan asia amerika, yang juga hidup dalam Ally McBeal.
Kontroversi yang muncul adalah kemampuan karakter ini mendobrak stereotype tunduk dan diam yang dimiliki perempuan asia amerika. Namun melihat resiko lebih jauh melalui studi komprehensif karakter asia amerika di TV menyebut Ling sebagai “figur fantasi masturbasi oriental”.

Helen Liu, konsultan media Asia Amerika mengungkapkan bahwa orang memandang Ling bukan sebagai pusat kekuasaan namun karena kualitas stereotypenya. Walaupun menjadi problematic, komentar-komentar sentimen mengungkapkan bahwa hal ini lebih baik dari pada tidak sama sekali, hal ini jauh lebih baik dan Ling manjadi malaikat asia Amerika, yang tidak dapat terjadi pada tahun 70an.

Hal ini berbeda bila membaca karakter Ling yang menunjukkan sifat polysemic dari teks media (Fiske,1986) seperti juga perbedaan tingkat pengetahuan sekitar konteks sejarah dalam membaca penyajian orang asia amerika. pesan dari karakter "tergantung sebagian besar pada apa yang penonton bawa sat menonton" dan bahwa pendengar membuat dan memberi hambatan sekali pun mereka seorang penggemar (Jenkins,1995).

Riset sangat dibutuhkan untuk dapat menjadi jembatan pengujian penyajian orang asia amerika dengan satu analisa tentang bagaimana penyajian tersebut benar-benar mempengaruhi kelompok orang asia ataupun rasial lain. wawancara-wawancara Etnographic dan kelompok-kelompok kecil akan menjadi sanngat bermanfaat dalam menyelidiki ketegangan antara hegemony media dan otonomi penonton.


Tidak ada komentar: