Latar Belakang
Gempa bumi
dahsyat mengawali serentetan kejadian penghancuran di hari kiamat 2012. Gempa dengan kekuatan sangat besar
tersebut kemudian membuat bumi retak dan menelan semua yang ada di atasnya, tak
terkecuali manusia, tumbuh-tumbuhan, rumah, bahkan bangunan-bangunan pencakar
langit ratusan lantai yang menjadi simbol kedigdayaan Amerika.
Gunung-gunung
berapi memuntahkan laharnya menjadi hujan bebatuan vulkanis. Tak sampai disini,
meteor dengan ukuran sangat besarpun menerobos atsmosfir bumi dan menghantam
samudera yang menyebabkan tsunami terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia,
menenggelamkan benua hingga pegunungan Himalaya, dan mencairkan puncak es abadi
yang berada di daratan tertinggi dunia tersebut. Tidak ada yang dapat mengelak.
Betapa fantastis
dan imajinatifnya bayangan manusia tentang kejadiaan hari akhir yang diprediksi
(dalam film) terjadi pada tahun 2012.
Penggambaran kiamat (Doomsday) yang
selama ini hanya berada pada wilayah imajinatif dan khayalan manusia telah disempurnakan
secara material dan kasat mata oleh teknologi Industri perfilman dunia,
Hollywood.
Visual yang
spektakuler, membuat penikmat film merasakan secara sadar dan nyata tentang realitas
kedahsyatan hari kiamat. Visual penonton dimanjakan dengan kejadian dan
peristiwa alam yang belum pernah terjadi dan belum pernah mereka alami. Penonton
diajak bertamasya sejenak ke masa depan, dan melihat proses penghancuran bumi
beserta isinya pada masa akhir dunia.
Namun kenyataannya,
penonton hanya duduk, diam, dan memandang sebuah layar dari kursi
masing-masing. Tidak kemana-mana dan tidak melakukan apa-apa. Kejadian-kejadian
menghebohkan tersebut hanya ada di ruang (kotak) simulasi film yang hanya
berkorelasi pada pemahaman subjektif penonton. Namun, tidak dapat disangkal
bahwa secara perlahan kognitif penonton telah digiring untuk mempercayai
realitas yang digambarkan dalam film sebagai bentuk realitas yang sesungguhnya.
Penonton dibawa
hanyut dalam hiperrealitas visual yang “melampaui”.
Hingga taraf ini, produsen pesan (sutradara) telah melakukan modifikasi tanda (visual)
untuk melahirkan makna dengan bantuan teknologi film. akibatnya film ini penuh
dengan tanda yang hyper.
Pada dasarnya
hiperrealitas film dibangun dengan sistem tanda yang melampaui (hyper sign).
Baudrillard
mengungkapkan bahwa dunia hiperrealitas adalah sebuah dunia realitas yang dalam
konstruksinya tidak dapat dilepaskan dari produksi dan permainan bebas
tanda-tanda yang melampaui (hyper signs) yaitu tanda yang melampaui
prinsip, definisi, struktur dan fungsinya sendiri, sehinga tanda-tanda tersebut
kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.
Tanda-tanda
didalam wujud hyper signs –yang dikonstruksi sebagai komoditi didalam
wacana kapitalisme, menuntut adanya pengemasan, pesona, kejutan, provokasi dan
daya tarik, sebagai logika komoditi. Kemasan tanda dan mediumnya, pada satu
titik, lebih menarik Perhatian setiap orang ketimbang pesan atau makna yang
disampaikannya, yang menggiring orang pada ekspektasi tanda dan medium itu
sendiri, sambil melupakan pesan dan maknanya (Piliang, 2003:53-54).
Dalam
semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai
tanda (sign), semata alat untuk berdusta,
maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna
tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan.
Umberto Eco
menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta,
maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran
(truth). Hipersemiotika tidak sekadar teori kedustaan, melainkan teori yang
berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna
dan realitas, khususnya relasi simulasi. (Piliang, 2003:44-58).
Dunia
realitas disaring, difragmentasi, dielaborasi dan dikemas menjadi hyper
signs melalui mekanisme komodifikasi tanda-tanda. Elemen-elemen tanda yang
merupakan bagian dari dunia realitas kini dikombinasikan dan berbaur dengan
elemen-elemen tanda yang bukan realitas (fantasi, imajinasi, ideologi) yang
menciptakan semacam realitas baru yang tidak lagi berkaitan dengan realitas
yang sesungguhnya.
Penggambaran
realitas yang tercipta akibat penggunaan hyper signs membentuk
hiperrealitas, yang menyebabkan perbedaan antara realitas dan non realitas
menjadi kabur bahkan lebur (Piliang, 2003: 53-54).
Dalam
hubungan hipersemiotika dan postmodernisme dapat dikatakan bahwa Hipersemiotika
merupakan sebuah kecenderungan yang melampaui semiotika konvensional (khususnya
semiotika struktural), yang beroperasi dalam sebuah kebudayaan yang di dalamnya
dusta, kepalsuan, kesemuan, kedangkalan, imanensi, permainan, artifisialitas,
superlativitas dirayakan sebagai spirit utamanya; dan sebaliknya kebenaran,
ontentisitas, kedalaman, transendensi, metafisika ditolak sebagai penghambat
kreativitas dan produktivitas budaya.
Sedangkan
postmodernisme merupakan sebuah kecenderungan seni, sastra, arsitektur, media
dan budaya pada umumnya, yang merupakan sebuah ruang tempat tumbuh subur serta
membiaknya dengan tanpa batas dan pembatas berbagai bentuk hyper-sign di atas.
Postmodernisme adalah sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika,
yang di dalamnya berbagai hyper-sign
dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya komoditi dan budaya
konsumerisme kapitalisme. (Pilliang, 2003: 59-60).
Tanda (visual)
berlebihan yang muncul dalam film 2012
kemudian membuat banyak pihak merasa perlu bersikap, terutama kalangan ulama di
Indonesia yang menganggap film ini sebagai bentuk pendahuluan kehendak Tuhan. salah
satunya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang mengharamkan
film 2012 untuk ditonton.
mereka
berkeyakinan dampak isi cerita film tersebut akan membuat masyarakat resah,
terkait tibanya hari kiamat pada 2012.
MUI Kabupaten Malang juga mengimbau umat Islam untuk tidak menonton film
tersebut apalagi mempercayai isinya (Republika, 17 November 2009).
Hal ini
tentunya tidak hanya terbatas pada dampak film, tetapi juga menyangkut
keyakinan spiritual dan keagamaan. MUI Pusat menambahkan bahwa poin keberatan para
ulama adalah bahwa kiamat tidak boleh divisualisasikan dan tidak boleh
diprediksi (www.okezone.com)
Namun,
sebagian ulama lainnya justru berpendapat sebaliknya. para pengurus pondok
pesantren di Jombang justru bersikap lebih terbuka dengan membolehkan siapapun
menonton produk Hollywood ini. Mereka hanya mengimbau agar para penonton,
terutama kalangan santri, menyadari bahwasannya film yang dihasilkan
dari ramalan suku Maya itu bersifat fiksi/khayalan semata, dan dapat mengambil sisi positif dari film 2012 (Pos Kota, 17 November 2009).
terutama kalangan santri, menyadari bahwasannya film yang dihasilkan
dari ramalan suku Maya itu bersifat fiksi/khayalan semata, dan dapat mengambil sisi positif dari film 2012 (Pos Kota, 17 November 2009).
Kontroversi pendapat
tersebut tidak menyurutkan rasa penasaran penonton film di tanah air. Film '2012' justru menjadi lebih banyak
mencuri perhatian para penikmat film. Terbukti dengan banyaknya penonton yang
berbondong-bondong untuk menyaksikan film tersebut di bioskop, dan menjadi
pemberitaan di beberapa media cetak dan elektronik. Film ini pun langsung
melejit menjadi box office dalam
waktu tiga hari. (www.vivanews.com).
Kejadian ini tidak
hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga diseluruh daerah yang memiliki jaringan
bioskop XXI di seluruh Indonesia. Seperti pantauan Antara di beberapa bioskop
di Kota Bandung, hanya dalam beberapa menit seluruh tiket film "2012" semuanya laku terjual di tiap
jam pertunjukannya.
Bahkan Salah
seorang pengunjung yang hendak membeli tiket film bertema kiamat ini harus
mengantri sejak siang hari untuk bisa mendapatkan tiketnya. Fenomena ini juga
terjadi di daerah lainnya seperti Menado, Makasar, Surabaya, Medan, dan
kota-kota lainnya. (www.antaranews.com).
Masyarakat kemudian masuk dalam kondisi tidak mampu membedakan realitas
film virtual dengan realitas sesungguhnya. film pada dasarnya dibentuk melalui
seperangkat proses virtualitas yang kompleks untuk memperoleh kesempurnaan
bentuk untuk mengaburkan makna sebenarnya. Hal ini manjadi salah satu ciri hiperrealitas dimana kesadaran tidak mampu
membedakan antara kenyataan dari fantasi terlebih pada era kemajuan teknologi
budaya postmodern.
Hiperrealitas
diartikan sebagai suatu karakteristik cara bagaimana kesadaran kita
mendefinisikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan ’kenyataan’ di dunia, dimana
sebagian besar media secara radikal membentuk dan menyaring realitas asli atau pengalaman yang
digambarkan.
Bagi
Baudrillard, dunia sekarang adalah dunia simulasi, dan film serta
tayangan-tayangan televisi menjadi bagiannya. Pandangan kritis posmodern
Baudrillard membuka pandangan yang berbeda, dimana film ataupun tayangan
televisi justru tidak mendasarkan pada realitas dasar bahkan lebih ekstrimnya
lagi tidak ada realitas dasar yang menjadi acuannya, dengan kata lain pada
tahap ini muncul simulasi yang sempurna. Ada empat tahapan agar dapat
menghasilkan simulasi yang sempurna yaitu :
- Berupa pencitraan sebagai refleksi dari realitas dasar
- Menutupi dan menyesatkan realitas dasar
- Menutupi ketidakhadiran realitas yang dasar
- Tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas manapun
(piliang, 2003: 134).
Umberto Eco dalam bukunya Travels in Hyper-reality (1986),
menjelaskan bahwa hiperrealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi,
salinan atau tepatnya imitasi simulacrum dari unsur-unsur masa lalu yang
dihadirkan oleh konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia.
Eco melihat fenomena hiperrealitas sebagai persoalan penjarakan, yaitu
obesesi menghadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, dan terkubur (seperti
dinosaurus), dalam rangka melestarikan bukti-buktinya, dengan menghadirkan
replika, tiruan, salinan dan imitasinya. Sehingga ketika masa lalu tersebut
dihadirkan di dalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan
realitas, dengan pengertian masa lalu dapat tampak (seakan-akan) lebih nyata
dari kenyataan yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya,
sehingga menciptakan sebuah kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original)
(Eco, 1986:43-48).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut Eco, didalam fenomena
hiperrealitas masih ditemukan adanya prinsip representasi, dengan perkataan
lain, bahwa suatu salinan atau tiruan masih merupakan representasi dari rujukan
atau referensinya. Dunia hiperrealitas mereproduksi tidak hanya realitas yang
hilang, akan tetapi juga dunia tidak nyata : fantasi, mimpi, ilusi, halunisasi
atau fiksi ilmiah.
Hal ini dapat dijelaskan melalui dua contoh kategori hiperrealitas yaitu
pertama pada musium lilin atau musium tiruan karya seni dan kedua pada kota
hantu. Musium lilin adalah reproduksi realitas-realitas sejarah, seperti
Monalisa, Marilyn Monroe, Menara Pisa dll. Sementara kota hantu adalah
reproduksi fantasi, mimpi, ilusi atau fiksi ilmiah seperti Donald Duck,
Cinderella, Batman, Superman, Terminator dll (Piliang, 2003: 137).
Hal seperti
ini berlaku pada film 2012. Ide dasar
film ingin mensimulasikan kiamat adalah makna ironi yang dibentuk produsen
makna. Tanpa disadari, semakin lama popularitas film melejit drastis. Tidak saja
di Indonesia, tetapi juga di negara lainnya di dunia. Isu kiamat merupakan isu
yang sangat umum dan sangat menyentuh keyakinan tiap manusia, sehingga tidak
heran, bila rasa penasaran tiap orang sangat tinggi. Belum seminggu diputar di
bioskop, film kolosal tentang superbencana yang melanda bumi tersebut langsung naik
ke peringkat satu box office.
Seperti
dikutip dari Associated Press, di pekan pertamanya, film buatan Sony
Pictures tersebut meraih USD 225 juta (sekitar Rp 2,1 triliun). Di pasar
domestik AS saja, film itu telah meraup USD 65 juta (Rp 609 miliar), sedangkan
sisanya berasal dari pasar luar negeri. Penonton di Prancis tercatat yang
paling banyak menambah pundi-pundi Sony Pictures dengan pendapatan USD 17,2
juta (sekitar Rp 161 miliar) (www.jawapos.com).
sedangkan di
Rusia, 2012 meraup pendapatan hingga US$15,3juta, dan di Korea Selatan
mencapai US$9,9 juta. (www.mediaindonesia.com).
Untuk Indonesia, Sony Picture memprediksi pendapatan Film 2012 akan menembus angka 5 Triliun rupiah, untuk kategori film
non-sekuel (www.bisnis.com).
Distributor
film '2012', Columbia Pictures, menyebut
kalau film yang dibintangi oleh John Cusack itu menjadi yang terlaris sepanjang
sejarah. Selama ini hampir semua film laris sepanjang sejarah diisi oleh film
yang diadaptasi dari buku-buku laku. ‘Harry
Potter' atau 'The Da Vinci Code'
atau film bersekuel, Seperti 'Batman
Begins' dan 'The Dark Knight'. (www.anekayess-online.com).
Film 2012 bercerita tentang akhir dunia yang
diprediksi berakhir 21 Desember 2012.
hal ini didasari pada penghitungan kalender suku mayan di Brazil. bencana alam
dahsyat kemudian datang dengan sangat cepat hingga menenggelamkan dunia menjadi
benua baru. Film ini dibintangi John Cusack dan Danny Glover dan disutradarai
oleh sutradara "spesialis" film bencana, Roland Emmerich.
Kisah film 2012 ini sepintas tak jauh berbeda
dengan film soal bencana besar di bumi, seperti The Day After Tomorrow (2004) dan Deep Impact (1998). Hanya saja, film 2012 lebih hebat dan dahsyat penggambarannya. Efek visualnya
terlihat lebih nyata. Meski dari sisi efek visual patut diacungi jempol, tidak
demikian dengan alur ceritanya. Lewat film 2012
ini setidaknya penonton bisa melihat gambaran bagaimana dunia (sedikit) hancur
karena kekuatan alam yang amat dahsyat.
Penyebutan
kiamat untuk film ini tidak tepat, lantaran masih ada manusia yang selamat.
Mungkin lebih tepat bencana besar, seperti yang terjadi di zaman Nabi Nuh, di
mana banjir besar melanda bumi, dan Nuh bisa selamat setelah naik sebuah
bahtera berisi semua jenis binatang dan tumbuhan agar bisa melanjutkan hidup
pascabencana. (www.manadopost.com).
Pembuat film 2012, yaitu Hollywood melalui Colombia
Picture, memang dikenal sebagai gudang teknologi film mutakhir. raksasa hiburan
dunia ini terkenal dengan kekuatan teknologi perfilman yang sangat maju di
dunia. Industri film Hollywood merupakan peleburan dari institusi komersil dan
teknologi pembuatan film, termasuk didalamnya perusahaan perfilman, studio, cinematography, screenwriting,
pre-production, film festival, sutradara, aktor dan film personel. (http://EzineArticles.com/?expert=Victor_Epand).
Dalam perkembangannya,
Film Hollywood pun mengalami perubahan yang cukup besar dengan bantuan
teknologi perfilmannya. Hollywood telah melalui beberapa tahap perkembangan
hingga akhirnya sampai pada era film modern dan postmodern, hingga pada
pertengahan tahun 70an film Amerika berada pada dekade film yang menampilkan spectaculer special effect, seperti
blockbusters Star Wars (1977), Superman (1978) dan Raiders of the lost Ark (1981).
Amerika
dikenal sangat menyenangi film yang bertemakan konflik makhluk asing,
kosnpirasi manusia dengan setan, tales, bencana, nostalgia masa lalu ataupun
masa depan. (www.digitalhistory.com).
2012 sendiri tergolong
pada film fiksi ilmiah yang mengambil bentuk sebagai film bencana alam (disaster movie). Science fiction sendiri (Sci-fi)
menurut Tim Dirks adalah sebagai berikut:
“Sci-fi
films are often quasi-scientific, visionary and imaginative - complete with
heroes, aliens, distant planets, impossible quests, improbable settings,
fantastic places, great dark and shadowy villains, futuristic technology,
unknown and unknowable forces, and extraordinary monsters ('things or creatures
from space'), either created by mad scientists or by nuclear havoc. They are
sometimes an offshoot of fantasy films, or they share some similarities
with action/adventure
films. Science fiction often expresses the potential of technology to destroy
humankind and easily overlaps with horror
films, particularly when technology or alien life forms become malevolent, as
in the "Atomic Age" of sci-fi films in the 1950s”. (www.filmsite.org)
Tema ini
sangat diminati Hollywood. pada tahun 2009 saja terdapat 22 film science fiction yang dilepas ke pasaran.
Namun film 2012, memiliki
keistimewaan sendiri dibanding science
fiction lainnya. Film ini memanfaatkan isu ramalan kalender kuno suku mayan
di Mexico, yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. namun baru di angkat kembali
beberapa tahun terakhir.
Untuk menyukseskan
film ini produsen juga telah memperhitungkan jauh hari. Pemasaran film ini
telah dilaksanakan sejak 12 November 2008 ke pasar televisi dunia. Pertama kali
muncul berupa thriller yang berdurasi 1 menit yang memperlihatkan kehancuran tempat
ibadah agama besar dan runtuhnya simbol peradaban manusia di muka bumi. (www.wikipedia.com, 2012, Film)
Dalam film
seperti ini, teknologi adalah kunci kendali dalam menciptakan penyempurnaan
visual (gambar) film. Penyempurnaan segala hal melalui teknologi, sehingga melampaui
kondisi aslinya ini disebut sebagai Simulasi (Piliang, 2004:155). Seperti yang
diungkapkan Baudrillard, bahwa dengan kemampuan menciptakan apapun menjadi
realitas, maka kemungkinan imajiner, ilusi, semua lenyap. dan dunia tanpa ilusi
adalah dunia cabul, material, eksak, sempurna (perfect). (Piliang, 2004:155). Kesempurnaan ini yang membuat
matinya kenyataan.
“Tubuh
disempurnakan (Lewat operasi plastik atau body
building) yang menggiring tubuh pada kematian tubuh itu sendiri. Seks disempurnakan (lewat komputerisasi
seksual dan teledildonic) yang
menggiring pada kematian seksual itu sendiri. Musik disempurnakan (lewat special effect dan synthesizer) yang menggiring pada kematian musik (asli) itu
sendiri. penyempurnaan telah menggiring berbagai hal menuju kematian dirinya
sendiri” (Piliang, 2004:156)
Yasraf Amir
Piliang dalam bukunya Postrealitas
(2004) mengungkapkan bahwa berbagai bentuk mimpi, fantasi, dongeng, fiksi,
imajinasi, halusinasi, yang dulu bukan merupakan bagian dari realitas, kini
dapat menjadi realitas melalui teknologi. Segala sesuatu dimaterialisasikan
atau direalisasikan sedemikian rupa, sampai pada satu titik yang menggiring
pada kematian realitas itu sendiri, karena apapun dapat memakai pakaian
realitas. (Piliang, 2004:155).
Kemudian, mengapa masyarakat Indonesia begitu antusias dengan film bencana? salah
satu jawabannya bisa saja di sebabkan oleh kekhawatiran masyarakat atas bencana
alam yang intensitasnya makin meninggi beberapa waktu terakhir. Indonesia merupakan
zona ring of fire atau wilayah cincin
api pasifik, yang ditandai dengan gugusan gunung berapi aktif disepanjang
kepulauan Sumatera, Jawa, sebagian Sulawesi dan Iran Jaya.
Indonesia
juga memiliki potensi gempa yang cukup tinggi, sebab posisi geografis Indonesia
yang berada diantara empat lempeng aktif (lempeng Pasifik, lempeng
Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Filipina). Tidak itu saja. terletak di antara dua benua
(Asia-Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) yang
membuat Indonesia merasakan langsung dampak badai el nino yang berakibat perubahan cuaca ekstrim (www.beritaindonesia.com.id).
Hal ini didukung
dengan kondisi 6 tahun terakhir, Indonesia sangat disibukan dengan bencana alam,
yang melanda Sabang hingga Merauke. Sebagian realitas ”kiamat 2012” dialami sebagian masyarakat
Indonesia. Dimulai dari tsunami Aceh (2004) hingga yang paling baru gempa bumi
7,9SR di Sumatera Barat (2009). Gempa Sumbar, yang terjadi 43 hari sebelum
launching film 2012, membuat
masyarakat Sumbar sangat tertarik untuk menonton film simulasi bencana ini. Namun
sayangnya, warga pasca bencana Sumbar tidak dapat langsung ke bioskop saat
launching perdana film 2012 pada 13
November 2009, sebab tidak ada lagi satupun bioskop yang utuh.
Mereka akhirnya
memilih untuk menunggu film dalam bentuk DVD setelah beberapa minggu
penayangan. Gempa Sumatera Barat merupakan gempa terbesar di Indonesia, namun
tidak menimbulkan tsunami dikarenakan posisi tumbukan lempeng bumi berada jauh
di dasar Samudera Hindia. Gempa ini menewaskan 1.117 jiwa, menimbun 389 orang, dan melukai 1.987 orang. ratusan ribu
bangunan hancur total dan sebagian rusak berat (www.pemprovsumbar.go.id)
Lepas dari hal-hal
tersebut, kemudian muncul pertanyaan, apakah yang sesungguhnya diharapkan para
penonton ini dari film 2012?,
terutama bagi mereka yang telah mengalami bencana alam dahsyat, seperti
masyarakat Sumatera Barat ini?. Kemudian, setelah menonton, pengalaman apa yang
ditemukan dalam ruang virtual film tersbut?.
Apakah disadari
bahwa film, merupakan kotak simulasi realitas yang merupakan produk Postmodern
seperti halnya televisi, yang sering menggunakan hiper-visual untuk
menggambarkan sebuah fenomena?. Apakah penonton menyadari bahwa mereka berada
dalam ruang simulasi yang tidak berbatas langsung dengan kesadaran realitas
mereka?. Seperti apa mereka memaknai film ini?, Tentunya dengan mengkomparasi
teks visual film kedalam pengalaman realitas mereka. Apakah tanda “melampaui” yang di sajikan dalam bentuk
visual film dapat dipahami sebagai hal yang bersifat fantasi atau malah sebaliknya.
4 komentar:
unfinished? maksudnya belum selesai diuji ato gimana mbak? mau saya jadikan referensi rencananya, kalo udah selesai, bisa saya minta link resmi tesis yg mba punya dari universitas mana? trims sebelumnya
I know this if off topic but I'm looking into starting my own blog and was wondering what all is required to get setup? I'm assuming having a blog like yours would cost a pretty penny?
I'm not very web savvy so I'm not 100% sure. Any suggestions or advice would be greatly appreciated. Many thanks
My weblog - cheap christian louboutin shoes
I know this if off topic but I'm looking into starting my own blog and was wondering what all is required to get setup? I'm assuming having a blog
like yours would cost a pretty penny? I'm not very internet savvy so I'm not 100% sure. Any recommendations or advice would be greatly appreciated. Many thanks
Take a look at my weblog ... Adidas Wings
Ι know this websitе proνiԁes qualіty based content and
аdditionаl dаta, is therе аny otheг web page which ρresents thesе
information in quаlіty?
Review my web ѕіtе diamondlinks review
Posting Komentar