II.1. Film
Film atau motion pictures ditemukan dari hasil
pengembangan prinsip fotografi dan proyektor. film pertama yang diperkenalkan
pada publik Amerika adalah The Life Of An
American Fireman dan film The Great
Train Robbery pada tahun 1903 (Hiebert, Ungurait, Bhon, 1975: 246 dalam
Ardianto,dkk., 2007:144).
Pada tahun
1916 lahirlah film feature dan pusat
perfilman Amerika yang dikenal dengan Hollywood. Periode ini disebut juga
sebagai The Age Of Griffith karena
David Wark Griffithlah yang telah membuat film sebagai media yang dinamis. Ia mempelopori
gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita yang lebih baik, dan
mengangkat film sebagai media yang memiliki karakteristik unik dengan gerakan
kamera yang dinamis, sudut pengambilan gambar yang baik dan teknik editing yang
baik (Hiebert, Ungurait, Bhon, 1975: 246 dalam Ardianto,dkk., 2007:144).
Pada periode
ini perlu juga dicatat nama Marck Sennett dengan Keystone Company, yang telah membuat film komedi bisu dengan
bintang legendaris Charlie Chaplin (Ardianto,dkk., 2007:144). Apabila film
permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun
belum sempurna (Effendy, 1993:188). Sejak masa ini film terus berkembang pesat,
termasuk dari segi teknologi visual.
Film dipahami
sebagai teks yang berisikan serangkaian foto (gambar) yang menciptakan gambaran
akan kehidupan nyata (Danesi,2002: 108). Film adalah salah satu bentuk karya
seni yang menjadi fenomena dalam kehidupan modern. Sebagai salah satu objek
seni abad ini, film dalam prosesnya berkembang menjadi salah satu bagian dari
kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada
manusia sebagai penonton.
Film adalah
sebuah seni mutakhir dari abad 20 yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan
perasaan, merangsang pemikiran dan memberikan dorongan terhadap penontonnya.
Dunia film, pada dasarnya juga sebagai bentuk pemberian informasi kepada
masyarakat.
Film juga
memiliki kebebasan dalam menyampaikan informasi atau pesan-pesan dari seorang
pembuat film kepada penontonnya. Film sering secara lugas dan jujur
menyampaikan sesuatu hal namun di pihak lain film juga disertai dengan tendensi
tertentu, seperti pendeskripsian suatu tema-tema sentral (Sumarno, 1998:85).
Film produksi
Hollywood dinilai sebagai komoditi yang mendunia. film yang membanjiri pasar
global ini mempengaruhi sikap, prilaku dan harapan orang-orang dibelahan dunia.
Tidak dapat dipungkiri, industri film yang berpusat di California, Amerika
Serikat ini memiliki sejarah panjang, kemajuan yang lebih awal dibanding
industri film di negara lain, dilengkapi dengan fluktuasi kapital yang besar,
fasilitas yang sangat memadai, akses atas teknologi terkini yang memungkinkan
penonton dan penikmat film terkesima oleh beragam efek spesial, aktor, aktris,
sutradara, penulis naskah, produser, komposer musik, pengarah fotografi serta
berbagai pihak yang terlibat dalam produksi dan pasca produksi yang digembleng
pengalaman pembuatan film berskala internasional (Amalia, 2008: 19).
Studi film
telah membangkitkan sebentang teori dan metode. Film dipelajari dari segi
potensinya sebagai “seni”, film dianalisis berdasarkan perubahan teknologi produksi film, film
dikutuk sebagai industri budaya, dan film didiskusikan sebagai situs penting
bagi produksi subjektifitas individu dan identitas nasional. (Storey, 2007:67).
Film sendiri mempunyai banyak unsur-unsur yang terkonstruksikan menjadi satu
kesatuan yang menarik (Luhukay, 2008:126).
II.1.1. Film Genre
Secara umum
pengelompokan film dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu film cerita (story film), Film berita (newsreal), film dokumenter (Documentary film) dan film
kartun/animasi (cartoon/animation film).
Film cerita atau fiksi paling lazim ditemukan di bioskop dan menjadi produk
komersil/dagangan industri hiburan.
Film berita,
menekankan pada aspek news value dan
lebih merekam fakta dan peristiwa. Film dokumenter, seperti didefinisikan
Robert Flahety merupakan sebuah karya ciptaan mengenai kenyataan, sebab
realitas dan fakta direkam dari sisi subjektif pembuat film. Sedangkan film
kartun merupakan film yang mengandalkan teknologi animasi yang sebagian besar
ditujukan untuk penonton anak-anak (Adrianto,dkk., 2007: 148-149).
Tim Dirks (http://www.filmsite.org/genre.html)
membagi film dalam 11 bentuk utama, dan paling lazim ditemukan dalam cinema
Hollywood, yaitu : Action Film, Adventure
Film, Comedy Film, Crime And Gangster Film, Drama Film, Epic/Historical Film,
Horror Film, Musical Film, Science Fiction Film, War (Anti-War) Film Dan
Western Film.
Ia mengungkapkan
bahwa genre atau gaya film tidak pernah sama dan terkadang terjadi overlap sebuah genre dan subgenre film. Dari
berbagai jenis gaya film, film fiksi dan fantasi adalah sumber kesenangan
karena ia menempatkan’realitas’ dalam selingan, membangun solusi-solusi
imajiner bagi kontradiksi-kontradiksi nyata yang dalam kesederhanaannya hanya
fiksional dan fiksionalitasnya yang sederhana keluarlah kompleksitas hubungan
sosial yang membosankan yang berkenaan dengan dominasi dan subordinasi. (Ien
Ang dalam Storey, 2007:30)
Culture
And Environment (pertama kali dipublikasikan pada 1933) F.R Leavis dan Denys
Thompson (1977) menyalahkan fiksi populer karena menawarkan bentuk-bentuk
adiktif berupa ‘kompensasi’ dan ‘distraksi’. bentuk kompensasi ini merupakan
kebalikan dari rekreasi itu sendiri, karena ia cenderung tidak memperkuat dan
menyegarkan kegemaran akan kehidupan melainkan menambahkan ketidakmampuan
seseorang dengan membiasakannya pada pengelakan yang mencerminkan kelemahan dan
penolakan terhadap realitas. (Storey, 2007:35). Q.D. Leavis (1978) dalam Fiction And The Reading Public menunjuk
pembacaan seperti itu sebagai ‘kecanduan’ pada fiksi dimana pembacaan terhadap
fiksi dapat melahirkan maladjustment
(ketidakmampuan berhadapan dengan dunia sosial) dalam kehidupann nyata (Storey,
2007:35).
Bennet dan
Woollacott menampik pandangan bahwa teks-teks fiksi populer tak lebih dari
sekedar wadah ideologi, sebuah alat yang menyenangkan dan senantiasa
mentransmisikan ideologi dominan dari industri budaya kepada massa yang
dikorbankan dan dimanipulasi.
Bertentangan dengan
hal ini mereka mengatakan bahwa fiksi populer merupakan suatu ruang spesifik, Dengan
ekonomi ideologisnya sendiri yang menyediakan serangkaian wacana dan
wacana-tandingan yang berubah-ubah secara historis, kompleks dan kontradiktif
yang harus dihidupkan dalam kondisi pembacaan tertentu. Bannet dan Wollacot
berpendapat bahwa teks maupun pembaca senantiasa telah diaktifkan secara
kultural, sampai pada tingkat dimana perbedaan antara subjek dan objek terus
menerus kabur (Storey, 2007:43).
II.1.2. Posisi Khalayak (Subjek) Penonton
Film
Film yang
ditonton masyarakat untuk menghabiskan waktu santainya, sebagimana yang
dikatakan Kloker (Kloker, 2001:3) memiliki kekuatan yang sangat besar karena
film menyajikan image yang dapat merasuki kita lebih mendalam (dibanding media
lain) karena image yang tersaji dalam film menyediakan ilusi yang “powerfull” mengenai pemahaman realitas.
Dengan alasan
inilah film lebih unggul dibandingkan media massa yang lain. Dalam film,
sutradara memiliki kemampuan untuk menunjukan realitas yang ada dalam kepalanya
dengan audio-visual dengan
menggunakan simbol dan tanda yang mudah dicerna dan gampang diingat oleh semua
penikmatnya.
Hubungan antara
film dan masyarakat memiliki sejarah panjang dalam kaitannya dengan kajian para
ahli komunikasi. Oey Hong Lee (1965:40) dalam Sobur (2006:126) mengungkapkan
bahwa film sebagai alat komunikasi massa yang kedua di dunia, dalam permulaan
sejarahnya film dengan lebih mudah muncul menjaadi alat komunikasi yang sejati,
namun kemudian merosot tajam dengan kehadiran televisi setelah tahun 1945.
Garin Nugroho
(Kompas, 19 Mei 2002) memaparkan bahwa sinema Amerika pasca 1970-an mampu
mengalami kebangkitan kembali justru dibangkitkan oleh generasi televisi
seperti Steven Spielberg dan Gorge Lucas. Mereka sebagai generasi televisi
sangat memahami masyarakat televisi dan seluruh bias kekuatan serta kelemahan
televisi. Mereka kemudian menciptakan ritual sinema dengan sensasi baru yang
berbeda dari ritual televisi, sekaligus mengadopsi kekuatan televisi ke sinema.
(Sobur, 2006:126)
Hal ini
membuat karya generasi Spielberg dan Lucas banyak mengadopsi tokoh kartun dan
ikon televisi yang sudah menjadi ritual masyarakat. catatan penting dari
generasi Spielberg dan Lucas adalah kemampuannya menciptakan sensasi gambar dan
suara sinema, yang didukung jenis film yang dipenuhi struktur plot yang penuh
keterkejutan dan ketegangan dalam imajinasi yang sangat kuat dalam format layar
lebar, seperti film E.T (Spielberg)
dan Jaws (Lucas) (Sobur, 2006:126).
Kekuatan dan
kemampuan film menjangkau banyak segmentasi sosial, lantas membuat para ahli
percaya bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak. dalam
penelitian dampak film, umumnya film dan masyarakat hanya dipahami sebagai
sesuatu yang linier, artinya, film selalu mempengaruhi masyarakat berdasarkan
muatan pesan di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.
Kritik yang
muncul dalam perspektif ini berdasarkan argumentasi bahwa film merupakan potret
masyarakat di mana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke atas layar
(Irwanto, 1999:13).
Namun Graeme
Turner menolak Perspektif yang melihat film sebagai refleksi dari masyarakat. Makna
film sebagai representasi dari realitas masyarakat bagi Turner, berbeda dengan
film sekedar refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film
sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu.
Sementara itu,
sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali”
realitas berdasarkan kode-kode, konvesi-konvesi dan ideologi dari kebudayaannya
(Irwanto, 1999:14).
Menonton film
berkaitan erat dengan medium film itu sendiri. Karakteristik film akan
membentuk penonton secara berbeda dari menonton televisi. Berikut beberapa
karakter film dan mediumnya yang juga mempengaruhi karakter penonton:
- layar yang lebar/luas. Luasnya pandangan visual memberikan keleluasaan penonton untuk melihat adegan yang ditampilkan, terlebih dengan teknologi film tiga dimensi yang memungkinkan penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak.
- Pengambilan Gambar. Konsekwensi layar lebar adalah teknik pengambilan dalam shot juga semakin luas, sehingga banyak sekali extreem long shoot dan panoramic shot. hal ini digunakan untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya hingga film menjadi lebih menarik. selain itu wilayah shot yang luas memungkinkan penonton mengetahui situasi sesungguhnya dalam film dan penonton dapat merasakan seolah-olah berada di tempat tersebut.
- Konsentrasi Penuh. Karakter lainnya adalah film biasanya akan menyita konsentrasi penuh dari penonton, sebab menonton film, terutama di bioskop adalah sebuah pilihan sadr. hal ini membuata penonton film lebih mudah hanyut dan larut dalam cerita yang ditampilkan.
- Identifikasi psikologis. Penonton film di bioskop seringkali secara tidak sadar mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang dilihat di dalam film dan hal ini merupakan identifikasi psikologis yang muncul dalam menonton sebuah film. (Adrianto,dkk. 2007:145-147).
II.1.3. Tanda dan Bahasa Film
Film merupakan
bidang kajian yang sangat relevan bagi analisa semiotika. Seperti dikemukakan
van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan.
Rangkaian gambar
dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu dalam film
digunakan tanda ikonis yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (van Zoest,
1993:109). Memang ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas
yang ditujukannya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi
realitas yang dinotasikannya (Sobur, 2006:128).
Hal yang
paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Sistem semiotika yang lebih
penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda
tanda yang menggambarkan sesuatu. Seperti disertasi J.M Peters, De tall van de film (1950) diungkapkan
bahwa semua penelitian kita telah menjadi suatu teori mengenai tanda ikonis. Musik
film juga merupakan tanda ikonis, namun dangan cara yang lebih misterius. Musik
yang semakin keras, dengan cara tertentu, “mirip” ancaman yang makin mendekati
kita/ ikonisitas metaforis (Van Zoest, 1993:109).
Lebih lanjut,
dalam hubungan sistem tanda, terjadi perbandingan antara gambar dan suara. Van
Zoest menjelaskan;
“Harus dibedakan
antara suara langsung yang mengiringi gambar (Dialog dan suara alamiah) dengan
musik yang mengiringinya. suara tipe pertama secara semiotika tidak begitu
berbeda dengan gambarnya. suara dan gambar merupakan unsur dalam cerita film
yang dituturkan dan dapat disebutkan. suara, sebagai tanda, terkait erat dengan
tanda gambarnya. suara bersama tanda gambar membentuk tanda-tanda yang
kompleks. tanda kompleks ini memang ikonis, namun keberadaanya diperoleh dari
indeksikalitas. semakin besar keterkaitannya maka film nakan semakin dapat
menyentuh penonton”
Film fiksi
biasanya akan menyajikan “teks” fiksional yang memunculkan dunia (fiktif
global) yang mungkin ada. Analisis terhadap struktur dan aktivitas semiotika
film konsep-konsepnya dapat dipinjam dari teori bercerita dan berkisah yang
berorientasikan semiotika. (van Zoest, 1999:122).
Film menuturkan
ceritanya dengan cara khususnya sendiri. kekhususan film adalah mediumnya, cara
pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannnya dengan proyektor dan layar. Film
sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan televisi. namun film dan televisi
memiliki bahasanya sendiri-sendiri dengan sintaksis dan bahasa yang berbeda
(Sarder&Lonn dalam Sobur, 2006:130).
Tata bahasa
film sendiri terdiri atas unsur unsur seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close
up), pemotretan dua (two shot),
pemotretan jarak jauh (long shot),
pembesaran gambar (zoom in),
pengecilan gambar (zoom out), memudar
(fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerak yang dipercepat (speeded up) dan efek khusus (special effect). Bahasa tersebut juga
menyangkut kode representasi, simbol abstrak dan metafora. Metafora visual
sering menyinggung obek-objek dan simbol-simbol dunia nyata, serta
mengkonotasikan makna-makna sosial budaya (Sobur, 2006:31).
Christian Metz,
ahli linguistik film mengungkapkan bahwa fakta yang harus di pahami adalah
bahwa film harus benar benar dapat dimengerti. analogi ikonik sendiri tidak
selalu dapat menjelaskan wacana dalam film, sehingga membutuhkan pemahaman yang
lebih mendalam dalam membaca bahsa film, yang disebutnya sebagai fungsi dari “the large syntagmatic categoy”.
Bahasa film
ini kemudian dibagi menjadi delapan pengelompokan, yaitu Autonomous Shot, Paralel Syntagma, Bracket Syntaagma, Descriptive
Syntagma, Alternate Syntaagma, Scene, Episodic Sequence dan Ordinary Sequence. (Metz, 1971:146).
Naratif film dan The Large Syntagmatic
Category merupakan ide sebagai sebuah sistem tekstual yang digunakan karena
adanya keabsenan bahasa sinema, sehingga film dipahami sebagai teks atau wacana
dibandingkan sebuah bahasa.
Bagi Metz,
bahasa film disebut sebagai “a language
without a langue”. Ia menyamakan bahasa gambar (image) yang tersusun dalam narasi sebuah film dengan kalimat yang
dapat dibaca seperti yang berada pada sebuah tulisan. Tiap komponen gambar
saling memenuhi unsur unsurnya satu sama lain hingga membentuk sebuah struktur
kalimat dalam film yang dibangun dari bahasa gambar dan kamera.
Metz
menjelaskan lebih lanjut bahwa shot tidak lebih dari seperti sebuah ungkapan
daripada kata, meskipun tidak selalu menyerupai. Hal ini dijelaskan dalam lima
perbedaan antara bahasa film (shot) dengan dunia kata (Metz, 1971:115):
Shoot are infinite number, contrary to words but like statement,
which can be formulated in a verbal language
Shoot are the creations of the film maker, unlike words but
similar to statement
The shot presents the receiver with a quantity of undefined information,
contrary to the words. From this point of view, the shot is not even equivalent
to the sentence.
The shot is actualized unit, a unit of discourse, an assertion,
unlike the words, but like a statement, which always refers to a reality or a
reality.
The meaning of the shot is orgaanized syntagmatically rather than
paradigmatically
(Metz, 1971:115-116)
II.2. Postmodernisme Film
Film
Postmodern muncul pada tahun 1980s dan I990s sebagai suatu kekuatan kreatif di Industri
film Hollywood. Hal ini mencerminkan pembentukan budaya media, teknologi, dan
konsumerisme. Film postmodern ditandai dengan naratif yang terpisah, kondisi kegelapan
manusia, kekacauan dan kekerasan, kematian superhero, dan pandangan-pandangan dystopic tentang masa depan.
Film
Postmodern menarik suasana hati penonton terhadap ketidak-pastian, ketakutan,
dan kesinisan yang seolah-olah terjadi dalam masyarakat umum (Boggs&Pollard,
2001:159 ). Boggs dan Pollard dalam
jurnalnya “Postmodern Cinema and
Hollywood Culture in an Age of Corporate Colonization” mengidentifikasi lima trend umum dalam
sinema postmo antara lain sebagai berikut:
- The blockbuster-spectacle (the Star Wars episodes, Bat Man, Jurassic Park, Titanic, etc.), which has introduced the most hyper-real, super-commodified of media productions extending far beyond the movie experience itself.
- The theme of existential morass earlier present in some film noir and neonoir classics (Out of the Past, Touch of Evil, Taxi Driver, Chinatown) and more recently given fuller expression in the films of Woody Allen
- Emphasis on a distinctive American experience of historical quagmire, accompanied by a vanishing of the classic hero-protagonist, perhaps best developed in the dystopic films of Oliver Stone (Born on the Fourth of July, The Doors, El Salvador, Talkradio, and especially JFK)
- What might be called a cinema of mayhem involving a turn toward motifs of Hobbesian civic turbulence visible in directors like Scorsese (Mean Streets, Taxi Driver, Casino), Brian DePalma (Dressed to Kill), and more recently Quentin Tarantino (Reservoir Dogs, Pulp Fiction);
- Embellishment of ‘ludic’ or playful cinema where little seems to be valued or sacred, where established norms and codes are subject to irreverent mockery, as in the work of John Waters (Hairspray, Cry Baby, Serial Mom, Pecker). (Boggs&Pollard, 2001:165-166)
Kultur
film postmodern menonjolkan sesuatu yang dramatis melalui teknologi visual yang
ditandai dengan ketepatan dan kecepatan dalam rangkaian gambar, pemanipulasian,
konstruksi yang inovatif dan merangsang penonton dalam berhubungan dengan
perasaan mereka dalam menonton film. Kecendrungan dari sinema posmo adalah
sebuah blockbuster yang memiliki
kebuntuan historis, kekacauan, penuh dengan permainan yang dibentuk oleh
teknologi media.
Namun
teknologi tersebut justru mendikte pada suatu proses objektif untuk menguatkan
kepasifan penonton, sehingga pengalaman yang terbentuk dalam menonton sinema postmo
bertujuan untuk komoditas. Tidak ada yang lebih nyata dari film-film blockbuster Hollywood seperti Jurassic Park, Star Wars atau Titanic.
(Boggs&Pollard, 2001: 174)
II.3. Konsep-Konsep Hiperrealitas
Sebagai sebuah paradigma, hiperrealitas signifikan menjelaskan kondisi
budaya saat ini, yaitu adanya konsumerisme yang merupakan faktor yang
memberikan konstribusi menciptakan kondisi hiperrealitas.
Hiperrealitas
sendiri dapat diartikan sebagai ketidakmampuan kesadaran kita untuk membedakan
antara kenyataan dari fantasi terlebih pada era kemajuan teknologi budaya
postmodern. Agak sulit memang untuk
memastikan siapa pencetus orisinal dari istilah hiperrealitas, karena tercatat
beberapa tokoh pemikir yang terkenal dengan konsep hiperrealitas, diantaranya :
Jean Baudrillard, Albert Borgmann, Daniel Boorstin, dan Umberto Eco.
Pemikiran Umberto Eco dalam bukunya Travels in Hyper-reality
(1986), menjelaskan bahwa hiperrealitas adalah segala sesuatu yang merupakan
replikasi, salinan atau tepatnya imitasi simulacrum dari unsur-unsur masa lalu
yang dihadirkan oleh konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia.
Lebih lanjut, menurut Eco, fenomena hiperrealitas lebih dilihat sebagai
obesesi menghadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, dan terkubur, dalam
rangka melestarikan bukti-buktinya, dengan menghadirkan replika, tiruan,
salinan dan imitasinya. Sehingga ketika masa lalu tersebut dihadirkan di dalam
konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas, dengan
pengertian masa lalu dapat tampak (seakan-akan) lebih nyata dari kenyataan yang
disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah
kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original) (Eco, 1986:43-48).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut Eco, di dalam fenomena
hiperrealitas masih ditemukan adanya prinsip representasi, dengan perkataan
lain, bahwa suatu salinan atau tiruan masih merupakan representasi dari rujukan
atau referensinya.
Dunia hiperrealitas mereproduksi tidak hanya realitas yang hilang, akan
tetapi juga dunia tidak nyata : fantasi, mimpi, ilusi, halunisasi atau fiksi
ilmiah. Hal ini dapat dijelaskan melalui dua contoh kategori hiperrealitas
yaitu pertama pada musium lilin atau musium tiruan karya seni dan kedua pada
kota hantu. Musium lilin adalah reproduksi realitas-realitas sejarah, seperti
Monalisa, Marilyn Monroe, Menara Pisa dll. Sementara kota hantu adalah reproduksi
fantasi, mimpi, ilusi atau fiksi ilmiah seperti Donald Duck, Cinderella,
Batman, Superman, Terminator dll (Piliang, 2003: 137).
Tokoh pemikir
hiperrealitas lainnya, yaitu Albert Borgmann melalui bukunya Crossing the Postmodern Divide (1992) berupaya
menjelaskan hiperrealitas dengan menyebarkan tiga set skema triadik untuk
membandingkan modernisme dengan dua cara posmodernisme, yaitu pertama, kondisi
hipermodernisme dan kedua, bersifat lebih radikal yang dikenal dengan istilah postmodern alternative.
Posmodern
alternatif memiliki kecenderungan untuk menjadikan teknologi menjadi cara hidup
dan memberikan jalan bagi realitas segala sesuatu yang kita hormati dan
kemuliaan hidup kita (Borgmann, 1992:82).
Sementara itu, Jean Baudrillard
sendiri mendefinisikan hiperrealitas sebagai sesuatu yang tidak menduplikasi
sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya
sendiri, dalam hal ini salinan dan asli, duplikasi dan orisinal, model dan
referensi adalah obyek yang sama. Lebih lanjut, menurutnya dunia hiperrealitas
adalah produk sejati dari simulasi, sehingga representasi bukan merupakan
prinsip pembentuk hiperrealitas.
Menurut Baudrillard, dunia kita saat
ini adalah dunia simulasi di mana keberadaan simulasi telah tersebar luas, dan
film serta tayangan-tayangan televisi menjadi bagiannya. Pandangan kritis
posmodern Baudrillard membuka pandangan yang berbeda, di mana film ataupun
tayangan televisi justru tidak mendasarkan pada realitas dasar bahkan lebih
ekstrimnya lagi tidak ada realitas dasar yang menjadi acuannya, dengan kata
lain pada tahap ini muncul simulasi yang sempurna.
Ada empat
tahapan agar dapat menghasilkan simulasi yang sempurna, yaitu pertama berupa
pencitraan sebagai refleksi dari realitas dasar. Kedua, menutupi dan
menyesatkan realitas dasar, Ketiga, menutupi ketidakhadiran realitas yang
dasar. Keempat, tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas manapun (Piliang,
2003: 134).
Pada kondisi seperti ini, maka
simulasi realitas pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang memiliki tujuan
tertentu, yaitu membentuk suatu persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah
mewakili kenyataan). Tindakan menyimulasikan sesuatu adalah dengan berpura-pura
memiliki apa yang sebenarnya tidak dimiliki. Di satu sisi menyatakan
keberadaan, di sisi lainnya tidak eksis. Maka, jika
sebuah film atau tayangan televisi menunjukkan visual yang tidak bisa lagi
diterima sebagai fakta yang alami, maka substansi film atau tayangan televisi
tersebut telah disimulasikan dari obyek yang sesungguhnya ada atau tidak ada
sama sekali.
Jean
Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat dewasa ini. Dengan
mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland
Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village
dan medium is message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa
realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang
membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat yaitu kebudayaan
postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta
didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol (Baudrillard, 1983: 20).
Pemikiran
Baudrillard tentang dunia simulasi dan
gagasan tentang fenomena hiperrealitas dapat dijelaskan secara gamblang
dan menjadi mudah dipahami melalui film, televisi dan video game (Baudrillard,
1987: 33). Dalam wacana televisi, film dan video game
mengikuti Baudrillard bergumul pelbagai unsur: fiksi dan fakta, realitas dan
ilusi, kebenaran dan kepalsuan, yang direkayasa, disimulasi sehingga
seolah-olah nyata.
Ketiga
artefak budaya massa tersebut juga sekaligus mencampur-baurkan masa lampau,
masa kini dan masa depan dalam konteks kekinian yang juga semu. Realitas dalam
televisi, film dan video game pada gilirannya menjadi realitas simulasi:
realitas buatan yang dihasilkan melalui proses produksi dan reproduksi pelbagai
unsur sehingga tidak mungkin lagi diketahui mana yang real dan mana yang palsu,
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang asli dan mana yang tiruan.
Proses
indoktrinasi nilai, tema dan identitas diri itu sendiri dirasakan dan dialami
sebagai sebuah kenikmatan. Sifat simulasi dalam media televisi telah mampu
menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada pada kehidupan nyata,
meskipun sebenarnya hanyalah sebuah fantasi, sebuah realisme semu.
Film, berita,
telenovela, videoclip, iklan, tayangan olahraga, talk show ataupun tayangan
kesenian tradisional, dialami sebagai tontonan yang semata untuk dinikmati
tanpa harus bersusah payah berpikir kritis.
Dalam ruang
semu visual, penonton seolah didaulat sebagai subjek otonom yang dapat memilih,
memindah atau menyeleksi suguhan apa yang akan ditontonnya. Penonton dapat
memindah-memindah dan menciptakan realitas dari tayangan yang satu ke tayangan
yang lain tanpa adanya referensi tunggal yang saling berkaitan.
Ruang dan
waktu seolah terlipat dalam sebuah kotak kaca yang bernama televisi. Sifat
fragmentasi dalam dunia semu televisi inilah dunia yang terpotong-potong,
pendek-pendek, berubah dan berpindah yang menjadikan para penontonnya terbuai
oleh mitos tentang subjek yang otonom.
Padahal,
menurut Baudrillard, semua ini hanyalah mistifikasi yang dijejalkan ideologi
kapitalisme demi produksi dan konsumsi. Kebenaran yang sesungguhnya, bahwa
pilihan dan otonomi penonton televisi sebenarnya tak lebih dari pilihan semu.
Otonomi yang dibatasi dan diatur oleh pilihan yang sudah ada (Baudrillard, 1987:
16). Penonton, dalam wacana visual, tak lebih dari objek mengalirnya berbagai
fakta, citra, impian dan fantasi, tanpa memiliki jati diri yang hakiki, sebuah
terminal pelbagai jaringan tanda-tanda.
II.4. Hipersemiotika (hyper-sign)
Hiperrealitas
dapat dipandang sebagai sebuah dunia perekayasaan realitas melalui hyper
signs, sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang
direpresentasikan. Secara sederhana, hiperrealitas menciptakan suatu kondisi,
yang didalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan
masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan
realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori kebenaran, kepalsuan,
keaslian, isu, realitas sekan-akan tidak berlaku lagi (Piliang, 2003:53).
Film menampilkan imaji yang lebih
nyata daripada realitas aslinya melalui tayangan-tayangannya. Sehingga realitas
yang ditampilkan televisi dalam segala tayangannya tidak lagi merupakan
realitas yang faktual, tapi tidak lebih dari imaji yang melampaui realitas
aslinya yang disebut dengan hiperrealitas.
Menurut
Baudrillard, dunia hiperrealitas adalah sebuah dunia realitas yang dalam
konstruksinya tidak dapat dilepaskan dari produksi dan permainan bebas
tanda-tanda yang melampaui (hyper signs) yaitu tanda yang melampaui
prinsip, definisi, struktur dan fungsinya sendiri, sehinga tanda-tanda tersebut
kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.
Lebih lanjut
Baudrillard menjelaskan bagaimana tanda-tanda didalam wujud hyper signs
–yang dikonstruksi sebagai komoditi didalam wacana kapitalisme- menuntut adanya
pengemasan, pesona, kejutan, provokasi dan daya tarik, sebagai logika komoditi
itu sendiri. Kemasan tanda dan mediumnya, pada satu titik, lebih menarik
perhatian setiap orang ketimbang pesan atau makna yang disampaikannya, yang
menggiring orang pada ekspektasi tanda dan medium itu sendiri, sambil melupakan
pesan dan maknanya (Piliang, 2003:53-54).
Didalam sistem pertandaan
kapitalisme, benda-benda diproduksi sebagai tanda, yang kini tidak lagi mengacu
pada realitas di luar dirinya, akan tetapi sebagai artifak yang terbentuk lewat
manipulasi teknis medium dan unsur-unsur kodenya (code). Dunia realitas
disaring, difragmentasi, dielaborasi dan dikemas menjadi hyper signs melalui
mekanisme komodifikasi tanda-tanda.
Elemen-elemen
tanda yang merupakan bagian dari dunia realitas kini dikombinasikan dan berbaur
dengan elemen-elemen tanda yang bukan realitas (fantasi, imajinasi dan
ideologi) kedalam suatu kombinasi kontradiktif dan ekletik tanda-tanda, yang
menciptakan semacam realitas baru yang tidak lagi berkaitan dengan realitas
yang sesungguhnya (Piliang, 2003: 54). Adapun tipologi sistem tanda antara lain
adalah sebagai berikut :
Pertama, tanda sebenarnya ( Proper sign), yaitu tanda yang memiliki hubungan simetris dengan
konsep atau realitas yang dipresentasikannya. kedua, tanda palsu (pseudo
sign) yang didalamnya berlangsung reduksi realitas. ketiga, tanda dusta (false
sign) yaitu penggunaan penandaan yang salah untuk konsep yang juga salah.
ketiga tanda
ini belum dikategorikan Baudrillard sebagai hyper-sign,
namun terkategori sebagai orde malefice
atau sorcery, yaitu tanda yang
sesungguhnya menopangi realitas yang tidak ada. namun tanda ini bisa saja
menjadi hyper-sign bila disandingkan
dengan tanda otentik hingga batas keduanya semakin kabur. (Pilliang, 2003:56).
sedangkan tanda berikutnya tergolong sebagai bentuk dari hyper-sign :
pertama, tanda daur ulang, yaitu tanda yang telah
digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa lalu, kini digunakan untuk
menjelaskan peristiswa masa kini, yang sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama
sekali. Ada berbagai motif di balik daur ulang tanda-tanda masa lalu, antara
lain nostalgia, rekonstruksi, apresiasi, revitalisasi atau rekonstekstualisasi.
Daur ulang tanda-tanda masa lalu dapat pula digunakan sebagai topeng realitas,
yaitu menggambarkan suatu realitas, yang sesungguhnya tidak seperti yang
digambarkan, arau bahkan tidak ada sama sekali (Piliang, 2003: 57).
Kedua, tanda artifisial yaitu tanda yang direkayasa
melalui teknologi citraan mutakhir (teknologi digital, computer graphic, simulasi), yang tidak mempunyai referensinya pada
realitas, yang lazim dikenal pula dengan sebutan tanda-tanda buatan atau tanda
yang tidak alamiah. Tanda jenis ini sangat bergantung pada kemampuan teknologi
mutakhir dalam menciptakan citraan yang sama sekali tidak mengacu pada
realitas. Oleh karena teknologi telah mampu menciptakan realitas-realitas
artifisial yang sama sekali virtual, yaitu yang hanya ada dalam wujud realitas
digital (Piliang, 2003: 58).
Ketiga, tanda ekstrim yaitu tanda yang ditampilkan
dalam sebuah model pertandaan yang ekstrim, khususnya lewat efek-efek modulasi
pertandaan dan makna yang jauh lebih besar ketimbang apa yang yang ada dalam
realitas sendiri, semacam intensifikasi realitas, peningkatan efek, ekstrimitas
makna. Ada efek pelipatgandaan pada sebuah tanda yang menghasilkan sebuah
ungkapan hiperbolis atau superlatif. Tanda ekstrim atau superlatif menarik
fakta kearah titik terjauh yang melampaui batas atau titik paling ekstrim,
lewat penggunaan tanda dan unsur visual lainnya yang melewati batas yang
dibantu oleh kemampuan teknologi pencitraan dan imagologi dalam merekayasa
citraan, sehingga makna sebuah peristiwa menjadi sangat ekstrim (Piliang, 2003:
58-59).
Keempat, tanda yang merupakan kondisi bauran dan
tumpang tindih dari berbagai macam bentuk tanda (tanda sebenarnya, tanda palsu,
tanda dusta, tanda daur ulang, tanda artifisial, dan tanda ekstrim) didalam
satu ruang yang sama, sehingga didalamnya antara yang semu/ asli, palsu/
tiruan, masa lalu/ masa kini, alamiah/ artifisial bercampur aduk dan tumpang
tindih, sehingga tidak dapat lagi dibedakan (Piliang, 2003: 59).
Lebih lanjut
Baudrillard menyatakan bahwa semakin dekat seseorang untuk memperoleh
dokumentasi yang sesungguhnya, peliputan yang hidup, dan semakin yang real
dinyatakan lewat warna, kedalaman teknis semakin besar, kenyataan itu semakin
menjauh atau tidak ada.
Semakin kita
dekat dengan realitas yang kita rekam melalui kecanggihan teknologi kamera dan
sebagainya, maka pada dasarnya kita semakin jauh dari realitas itu sendiri.
Semakin mirip rekaman kita terhadap realitas yang ada, realitas yang asli, maka
referensi menjadi semakin menghilang (Baudrillard,1988:122).
Tanda Hypersign
|
Penjelasan
|
Bentuk
|
Motif
|
Tanda daur ulang
(Recycled Signs)
|
Decontextualisatin
dan recontextualisation
|
Tanda [A]
dalam konteks ruang dan waktu [A] digunakan untuk menjelaskan [B]
|
Apresiasi,
rekonstruksi, nostalgia, revitalisasi, rekontekstualisasi
|
Tanda artifisial
(artificial sign)
|
Terbentuk
melalui rekayase teknologi (virtual)
|
Tanda [A]
digunakan untuk menjelaskan dirinya sendiri [A], sehingga antara tanda [A]
dan realitas [A] adalah sama
|
Realitas
digital
|
Tanda
ekstrim (superlative sign)
|
Jauh
melebihi realitas itu sendiri (hyper-signification)
|
Tanda
[A’’’’] digunakan untuk menjelaskan realitas yang hanya [A]
|
Efek
simbolik, efek psikologis, hiperbolis
|
Tanda
bauran
|
Pencampuran
semua tipologi tanda
|
[A]
menjelaskan [A’] dan bercampur dengan [A’’’]
|
Pengaburan
realitas
|
****diedit karena pembahasannya terlalu
panjang****